✨ // Binhao • You, the One Named After the Sky, My Sky
The blocker works, perhaps a little bit too well.
Asing rasanya memasuki kamar yang biasanya dipenuhi bau mereka berdua, namun kini tercium begitu samar meskipun ia mengendus lebih kencang (—plus Hao looked at him funny when he did it as if he just grow a third eye). Rasa khawatir yang awalnya berputar pada ketakutannya yang telah ia ceritakan pada para alfa lain di rumah ini kini berganti dengan rasa khawatir yang timbul akibat alfa di dalam dirinya yang mencari Hao—meskipun sesungguhnya pemuda itu tak kemana-mana, ada di hadapannya, sedang sibuk sendiri menghabiskan masa pra-heat nya dengan sesuatu yang produktif.
“What’s wrong?” Lembut nada sang omega bertanya, menaruh gawai bacanya ke sisi nakas. Meniru gerak pemuda Sung, ia mengendus pada udara. “Oh, bauku … kuat ya, I think I’m going into heat sooner than anticipated.”
Hanbin meringis, mengangguk kecil sekenanya seolah ia juga mencium bau yang sama dengan apa yang dihidu Hao, meski nyatanya yang tersisa dari inderanya yang tidak terpengaruh oleh obat-obatan penangkal itu adalah wangi Lavender tipis, disertai wangi khasnya yang lebih berat; selaiknya hari-hari biasa mereka. Ia harus berpura-pura, karena entah apa yang dipikirkannya barusan hingga menganggap blocker adalah jawaban dari kegamangannya, tapi sang alfa tak ingin kekasihnya tahu.
Jadi, untuk sekarang, ia lebih pilih bermain saja dengan apa yang telah mereka tahu; Hao is going into his heat, soon.
Mereguk ludah, perlahan disambanginya meja kerjanya untuk menaruh ponsel, mencatat dalam kapan ia melihat jam. Sembilan duapuluh tujuh. Jika Hao yakin heatnya akan datang sebentar lagi, mungkin malam mereka akan sibuk, ia yang tengah naif pada perubahan wangi di sekitar mereka jelas tak bisa berleha-leha atau ia akan membongkar semuanya.
“Sini.” Ajak Hao, menepuk sisi kasur yang kosong. Pada parasnya terpatri senyum tipis, lelah namun lembut dan membuai, Hanbin tak bisa tolak keinginan untuk bergabung.
Direbahkan tubuhnya di sisi pemuda itu, sedikit menindih pinggir sarang yang telah disusun Hao, namun cukup berhati-hati untuk tak mengacaukannya. Lengannya melingkar di pinggang mungil sang omega, menarik tubuhnya mendekat disertai kekeh kecil. “Miss you, alpha.” Hao berbisik, sama membuainya dengan senyumnya. Hao memang handal menggodanya—sadar maupun tidak.
And who is Sung Hanbin to refuse such a bless from the sky?
Ia cuma manusia, punya keinginan dan punya batas kesabaran, dan menghadapi Zhang Hao yang tengah manja jelas tak bisa dengan kepala dingin (sekuat apapun ia mencoba, meskipun kini yang bisa dihidunya hanya wangi samar sedekat apapun ia dengan leher pemudanya—oke, ini terasa aneh). Rengkuh pada tubuh Hao mengerat, membawa lelaki itu padanya, Hao tertawa dan melempar kepalanya ke belakang setelah melihat urgensi pada sikap Hanbin.
“Don’t laugh, you’ll make me lose my mind.” Geramnya teredam leher Hao, mengendus bau yang seolah mengendal pada pangkal lidah. Asing, janggal, seolah ia begitu jauh dari Hao untuk merasakan pemuda itu sepenuhnya, mengabaikan fakta bahwa Zhang Hao ada dalam pelukannya, mendesah tipis di bawah kecupan pada urat merihnya. Hanbin merutuk, alfa dalam dirinya tak puas, tapi kognitifnya tahu jika ia mencium lebih dari ini, ia tak akan bisa menahan diri.
(Tapi haruskah ia menahan diri? Ketika Hao terasa begitu hangat, begitu nyaman, begitu rela dalam pelukannya. Apakah kekhawatirannya sesungguhnya punya dasar—)
‘Why don’t you ask’
(—Why can’t I ask?)
“Hao hyung.”
Ia bersumpah bisa mendengar lenguh ketika rengkuh erat mereka terlepas, Hao yang mengerjap cepat memberitahunya pemudanya tengah menikmati sesi dekompresinya dari hiruk pikuk dunia, sesi yang dipotong terlalu cepat karena Hanbin yang tergesa. “Maaf,” disuarakan di antara kecupnya yang belum habis, merambahi sisi rahang sang omega. Hao menggeleng, mengembuskan nafas panjang, cebik mulutnya terlihat menggemaskan.
“Nggak apa, it’s just—you smell so good … aku suka.” Hao meraih tangan Hanbin pada lekuk pinggangnya, mengajak berkelindan. “Kalau sama kamu pas lagi kayak gini, rasanya kayak nggak pengen bagi-bagi kamu ke dunia.” Racauan Hao terdengar begitu tulus, ketika benaknya mulai berkabut dengan hasrat yang menggumul, adalah waktu Sung Hanbin bisa melihat Hao yang tak ditutupi oleh kewajibannya jadi omega paling tua yang harus bisa diandalkan semua. Hao boleh lepas, jadi egois dan keras kepala, bahkan jadi tak rasional pada sekecil apapun perubahan yang dirasa.
Saat ini, ia cuma Zhang Hao, omeganya terkasih.
“Tapi aku emang bukan buat siapa-siapa selain kamu.” Timbrenya bergetar di atas kulit, diikuti geliginya mencatut pagut pada titik di bawah telinga Hao.
Pada jawaban Hanbin, Hao mendesis kecil, tak setuju. Tubuh sang alfa didorong hingga rebah, jadi alas untuk omega muda itu duduk nyaman—tepat di atas absnya. “Bukan gitu, ih, kamu.” Cebiknya muncul lagi, juga pipi yang menggembung dan rona merah pada puncak pipinya. “You know how it is for me. Aku kan ga suka bagi-bagi kamu sama dunia, ga suka kalau kamu masih ditempelin omega lain—murid-muridmu itu, nakal.”
Hanbin bites back a laugh. Hao yang merajuk menggemaskan, dan ketika heat artinya tiga hingga empat hari ia berurusan dengan yang seperti ini. “Terus akunya harus diapain, sayang? Tandain ya tandain, gigit, boleh.” Pada kalimatnya sendiri, ia bisa merasakan gejolak pada pangkal perutnya; gigitan omega akan bertahan tiga hingga lima hari, tapi seharusnya cukup untuk memuaskan keinginan Hao.
In the other hand, alpha’s bitemark is permanent.
Hanbin menahan dirinya untuk tak terpengaruh. Alpha’s bite is permanent, dan ia menginginkannya, sebesar Hao yang tak ingin ia dibagi pada dunia—lebih besar daripada egoisnya Hao padanya. He wanted Hao for himself, to be his one and only. Ia benci jadi gamang seperti ini, meskipun ia tahu tubuhnya merindu dan asanya mencari sosok pemuda itu. Ia benci ketika harus menahan diri; Jika Hao menyandang jejas darinya, maka tak akan ada lagi alfa cecunguk yang mencuri cium dari tengkuk kekasihnya, semua akan tahu bahwa Zhang Hao—the beautiful, pretty, talented Zhang Hao, is his—
“Hanbin …”
Lamunannya buyar, menatap ekspresi Hao yang terpuntir tak nyaman. Binernya membelalak perlahan, apakah pikirannya menenggelamkannya begitu jauh? Apakah ada sesuatu dari ruangan ini yang berubah? Fuck, he can’t smell anything. Fuck, fuck, fuck.
Hao bites his lips, shifting uncomfortably.
“Kenapa … kamu marah?” Omeganya berbisik tipis, membuat jantungnya seolah mencelos.
“Aku enggak—“
“I can smell you, Hanbin-ah.”
Dadanya terasa digodam palu, tentu saja Hao bisa menciumnya. Hao, yang tengah sensitif akan apapun yang berada di sekitarnya, jelas akan mudah baginya untuk menyadari perubahan hati alfanya sendiri. Getir pada baunya mengatakan ada yang mengusik Hanbin, tapi tentu Hanbin tak sadar itu—ia tak sadar apapun selain lavender subtil dan wanginya yang menaungi mereka berdua. “Enggak … sayang.” Ia mencoba memulai mitigasi bencana, mengelus tulang panggul Hao dengan lembut, menunjukkan afeksinya, menggentarkan asumsi bahwa ia tengah marah.
Hanya saja kini ia betulan marah, pada dirinya sendiri (—akan ketidakmampuannya untuk menahan emosinya jika berhubungan dengan Hao, akan kenaifannya untuk berpikir ia akan baik-baik saja), dan jelas hal itu tak membantu sama sekali.
Fucking great, now Hao looks even more uncomfortable.
Pahit, ia bisa lihat Hao menggigit kalimat itu di balik rengusan hidungnya. Tubuh mungil omega itu terhuyung ketika terduduk kembali ke atas kasur, mencoba menjauhinya. Hanbin melompat terduduk, mengejar tubuh kekasihnya, namun dorongan ringan pada dadanya menghancurkan seluruh stansa yang dimiliki lelaki Sung. Ia terdiam, selagi Hao beringsut menjadi kecil.
“Sayang …”
“Kenapa pas aku bilang aku nggak mau bagi-bagi kamu ke dunia, respon kamu malah begini?” Ia bisa mendengar getar pada nada bicara Hao. “Kamu nggak suka aku perhatiin?”
Nafasnya tercekat, ia kembali duduk tersimpuh di hadapan kekasihnya, dua tangan mengepal di atas lutut. Menggigit bibir bawahnya sendiri.
“Bukan gitu …” Sung Hanbin tak pernah terdengar sepasrah ini.
Sebaliknya, kalimat kekasihnya membuatnya ingin lenyap dari dunia, “terus apa, Sung Hanbin?” Yang terdengar simpel, namun punya seribu emosi di belakangnya.
“Aku cuma … aku mikir.” Ia memulai. “How to stop myself from wanting to mark you … sayang, kamu bilang kamu nggak mau bagi-bagi aku sama dunia—akupun, aku nggak mau bagi kamu ke siapapun, tapi caranya cuma satu—marking you.”
Jeda di antara kalimatnya ia gunakan untuk menarik nafas, mengangkat pandangnya menatap Hao dan biner gelapnya yang melebar dalam antusiasme yang meninggi. “Terus … terus—“ Hanbin kehilangan kata-katanya, terdistraksi ekspresi sang omega, “—Hao … aku serius, aku hampir ngerasa gila akhir-akhir ini, yang bisa kupikirin cuma kamu, nandain kamu, bikin kamu punya aku.”
Hao nods in silence, bewildered look on his face.
“Makanya aku … mikir, frustasi, kamu bisa nandain aku tapi kalo aku sebaliknya nanti kita—“
“We will become a fated pair, and no one can smell me aside from you, right?”
Mereka terdiam, canggung yang menyelip terasa berat, namun Hanbin mengangguk. “Tapi itu pilihan berat, aku nggak bisa maksa kamu.” Hanbin mengakhiri kalimatnya dengan hela nafas panjang, hendak beringsut turun dan pergi dari kamar untuk menenangkan kepalanya ketika pergelangan lengannya ditangkap jemari kurus Zhang Hao.
“Tapi kamu nggak nanya aku?”
Hao menuntunnya kembali duduk di kasur, kini berhadapan dengannya. Hanbin merasakan degup jantungnya berpacu, seolah pandangan Hao padanya dapat mengulitinya hidup-hidup, menanggalkan harga dirinya, meskipun yang diinginkan Hao hanyalah jawaban. “Tapi kamu nggak tanya aku, Sung Hanbin?” Kalimat yang diulang, penekanan, eja lembut namanya. Hao mau jawaban, tapi apakah Hanbin punya?
“Takut kecepetan, kak.”
Hao mengerang, kini sama frustasinya. “So much doubt for someone who said they prioritize clear communication.” Hao mencebik kesal, menangkup pipi Hanbin untuk membawa tatap mereka bersambut. “Kamu pikir aku main-main pas bilang kalau aku nggak mau bagi-bagi kamu sama dunia? Kamu pikir aku bakal se-petty itu sama orang-orang yang deketin kamu kalau aku nggak serius sama hubungan kita?”
Hening, ditanggapi hanya dengan gelengan singkat dari sang alfa.
“Bagus, kalau begitu sekarang artinya apa?”
Ragu, Hanbin buka mulut. “Aku boleh … tandain kamu, boleh jadi … fated pair?”
Jawaban itu menuai senyum lebar, diberikannya kecup ringan pada puncak hidung sang alfa. “Boleh dibicarakan kapannya, nggak harus sekarang—but at least you have to know that I don’t want anyone but you. Paham?”
Hanbin tak pernah mengangguk lebih cepat daripada ini sebelumnya, dan ia tidak pernah—sama sekali, sebelumnya—merasa selega ini.
“Jadi kamu tadi nggak sadar kamu marah karena diam-diam minum blocker?”
Mereka memutuskan tidak menjalin takdir malam itu, Hao kelewat jauh dalam pra-heatnya dan obat-obatan dalam tubuh Hanbin masih bersisa hingga waktunya mereka selesai bercinta. Tapi Hanbin tak masalah, kini tubuh sang omega ada dalam rengkuhnya, bibir mencatut tengkuk mulus yang penuh jejas keunguan.
“I’m sorry … I’m in panic …” Kecupnya berhenti ketika Hao beralih menghadapnya, mengecup jejas tinta pada tulang selangka sang pemuda Sung.
“Lain kali kalau apa-apa bilang, calon alfa pemimpin nggak boleh main diem-dieman, nanti banyak yang nggak percaya.”
Hao bernafas di depan bibirnya, melanjutkan ucapannya singkat, “but you’re learning, and that’s okay.” Sebelum bibir mereka terkunci kembali dalam lumatan yang lambat.
It’s okay, Hanbin-ah, you’re still learning.