09. bertemu kembali




Wanda’s Pov


Setelah kejadian super menyedihkan di ruangan wardrobe setahun yang lalu, gue dan Chiko nggak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, kita komunikasi aja terakhir waktu lebaran tahun lalu di chat, habis itu udah nggak ada lagi.


Setelah merampungkan tour konser, North Pacific nggak ngeluarin lagu baru lagi. Mereka kayak lagi semi hiatus gitu ngga tau kenapa. Terus minggu lalu mereka ngerilis album baru lagi setelah sekian lama.


Daridulu lagu-lagu ciptaan Chiko nggak pernah gagal.. Selalu enak dan liriknya pun indah banget. Belum lagi ditambah suara Sabian yang bikin kecanduan, pukulan drum Dika yang selalu ngena, Sayatan melodi bass Chiko dan Sakala yang bisa menyayat sampai ke relung hati. Semuanya ter-kombinasi dengan sempurna.


Seperti yang kalian tau, gue adalah seorang penyiar radio di salah satu radio ternama di Jakarta. Dan kalian tau? North Pacific akan menjadi bintang tamu untuk siaran hari ini untuk melakukan promosi album baru mereka. Itu tandanya.. Gue akan bertemu lagi dengan dia.


Setelah satu tahun tiga bulan, gue bakal ketemu lagi sama dia.


“Nggak usah gugup gitu Wan, Woles..” Ucap Jojo —rekan kerja gue— berniat untuk menenangkan gue.


“Siapa yang gugup sih? Biasa aja gue.”


“Muka lo pucet gitu njir. Mau ketemu mantan udah kayak ketemu setan aja.” Tambah Jojo lagi.


Gue meliriknya malas. Bahkan ini lebih menyeramkan daripada ketemu setan.


“Nanti pas udah live, santai aja kayak biasanya Wan. Anggap dia sama kayak bintang tamu yang lainnya.” Mbak Sania duduk disebelah gue dan memberikan gue segelas susu hangat.


Gue mengangguk, “I’ll try my best, Mba.”


Setelah menunggu kurang lebih 30 menit. Mereka datang. Yap, Chiko, Sabian, Ardika, dan Saka datang. Jantung gue berdegup 2x lebih cepat dari sebelumnya.


Mata kami bertemu. Rasanya kayak darah gue tiba-tiba berhenti mengalir. Dengan cepat, gue langsung membuang muka.


Siaran akan mulai sekitar 20 menit lagi. Apa yang harus gue lakukan untuk mengisi 20 menit yang menyiksa ini?


“Eyooo Wanda.. Skkrtt skrtt..” ome and only. Sabian Pratama si tukang rusuh yang rusuhnya ngga kenal tempat.


Gue menutup wajah malu. Lo yang bertingkah kenapa gue yang malu sih, Yan?


Ardika mendekat ke gue.. Kita berdua pelukan dan cepika-cepiki. “Eh gue mau juga dong” timpal Sakala.


“Yeuuu lo siapa ego” ejek Ardika.


“Lo juga siapa njir” balas Sakala.


“Kita kan bestie.. Yoi nggak Wan?” Ardika menyolek tangan gue.


“Apaansi lo, Dik.” balas gue yang membuat Sakala dan Sabian ketawa.


Sedangkan dia.. Cuma nontonin kerusuhan kita sambil senyum.


“Woy Chik. Sini napa join. Diem-diem bae lo. Nahan berak ya?” Sabian kalo ngomong emang nggak pake disaring dulu. Jangan kaget ya.


Pandangan kita semua terfokus pada dia.. Chiko.


Ngerasa risih karena diliatin, Chiko langsung bergegas izin ke toilet.. “Aduh apaan sih malah pada ngeliatin gue. Ini toilet dimana ya? Jadi kebelet nih gue diliatin gini.”


“Oh ini.. Disitu tuh.. Lo keluar ruangan ini terus belok kiri, nanti lurus aja ngga jauh kok.” Jawab gue mencoba membantu dia, walau agak terbata-bata ya bund.


“Oke makasih” dia langsung berjalan cepat menuju toilet.


“Nahkan nahan berak beneran dia.” bisa tebak ini siapa yang ngomong? Yap.. Sabian.


Di ruangan ini hanya tersisa gue, Ardika, Sakala, Sabian, dan beberapa staff yang bertugas mengatur jalannya siaran.


“Kasian tau dia Wan. Jadi setengah gila pas lo putusin.” kata Sabian setengah berbisik.


“Bukan setengah gila lagi. Tapi emang udah gila.” timpal Sakala.


“Kita nggak ada kegiatan setahun nih ya gara-gara nungguin dia sembuh dulu.” Gue menatap Sabian nggak percaya. Nungguin dia sembuh?


“Di rem yan.” Ardika memberi peringatan kepada Sabian supaya omongannya bisa di rem.


Sabian tertawa canggung, “Hahaha ya pokoknya gitu deh. Hmm anyway lo kapan nikahnya, Wan? Undang gue dong.”


Pertanyaan yang amat sangat tiba-tiba. Bahkan gue belum mempersiapkan jawabannya.


“Untuk kapannya sih belum tau.. Tapi semoga secepatnya lah ya.” jawab gue.


“Gue sedih tapi gue doain semoga lancar terus sampe hari h deh ya, Wan.” ucap Sakala.


“Lo sedih kenapa bangsat.” Sabian memukul lengan Sakala.


“Ya sedih aja.. Emang ngapa si ngga boleh?”


Nggak lama dari itu, Chiko balik ke ruang siaran lagi, dan siaran pun segera dimulai.


Setelah kurang lebih satu jam berbincang bareng North Pacific, siaran pun berakhir.


Selama siaran, semuanya berjalan lancar. Awalnya gue sedikit gugup, tapi lama kelamaan gue bisa mengatur perasaan gue sendiri, sehingga gue nggak gugup lagi.


Ada satu moment awkward yang terjadi antara gue dan Chiko. Pada saat lagu ‘Alunan Tentang Dia’ diputar, mata Chiko nggak lepas menatap gue. Dika, Saka, sama Sabian juga kayaknya nyadar akan kejadian itu, mereka juga jadi ikutan awkward.


Begitu juga di lagu ‘She’s Really Gone’. Dia menatap gue dengan tatapan yang susah diartikan. Yang jelas, tatapan itu begitu dalam.


Sebenarnya, gue adalah orang yang cukup peka. Dan ya.. Gue tau kok lagu ini semua emang menceritakan tentang hubungan gue dan Chiko yang berakhir memilukan. Setiap kata di penggalan lirik lagu-lagu ini amat sangat menggambarkan hubungan gue dan Chiko dari sudut pandang Chiko.


Siaran udah berakhir, tapi masih ada satu sesi lagi sebelum mereka benar-benar meninggalkan ruangan ini.


“Oh masih ada sesi foto bareng ya?” tanya Ardika kepada salah satu staff.


“Iya foto dulu. Wan lo ditengah ya. Dipegang albumnya. Sabian disebelah Wanda.. Terus yang pendek kedua siapa? Nah yang paling tinggi dipinggir ya” Ci Fara —salah satu staff— menginstruksikan.


“Chiko lo pendek kedua kan Chik” Sabian jangan ngadi-ngadi deh lo.


“Sini sebelah Wanda Chik, lo kan pendek.” ini lagi si Dika malah ikut support.


“Buta ya mata lo pada?” Chiko sedikit ngegas. Lucu banget matanya melotot.


“Dika sebelah Wanda.” ucap Ci Fara.


“Oke bagus nih posisinya. Ayo cepet pose” ini Bang Diego yang ngomong. Dia photographer disini.


“Satu.. Dua.. Tiga..” /cekrek/ “Nah Cakep.”


“Lah sekali doang nih?” tanya Sakala.


“Buset ketagihan lu tong. Sekali doang jatahnya. Kalo mau lagi, bayar sini.” gurau Bang Diego.


“Yeee pelit amat lu bang.” timpal Sabian.


Sehabis sesi foto, mereka ber-empat pulang. Gue cukup lega, karena bisa melalui jam-jam yang menyiksa ini dengan lancar.