written with ♡ by coruscathe
ENEMIES, 121 : his another reason.
"Gib,"
"Gibran,"
"Gibran!"
Gibran yang semula sedang fokus memainkan ponselnya lantas menoleh terkejut mendengar gertakan itu. "Eh— sorry sorry," gumamnya cepat. Ponselnya segera ia masukkan ke saku celana lalu kembali menatap lelaki mungil dihadapannya. "Itu terakhir lo nulis nomor berapa? Nomor sepuluh, ya?"
Bukannya menjawab, yang ditanya malah diam dan menyipitkan matanya. "Lo kalau nggak niat bantuin gue mending udahan aja deh kita." ujar sang lelaki mungil, bersamaan dengan pulpen yang sengaja dilempar ke atas meja.
Yes he is. Biel yang selalu berlebihan,
dan Gibran yang selalu —berusaha— sabar.
"Mulai..."
"Gue disini udah fokus loh, sesuai apa yang lo suruh tadi. Nggak ada tuh gue megang-megang hape. Sedetik pun nggak ada. Terus sekarang, malah lo yang sibuk main hape ...."
"Bi..."
".... Kayak, apa deh? Kalau dari awal mau ngingkar ya nggak usah sok ngejanji. Kalau nggak niat nemenin dan bantuin juga nggak usah sok ngajakin. Gue nggak butuh kok bantuan lo, gue bisa kerjain tugas gue sendiri. Lo pikir—"
Gibran meringis pelan seraya menggaruk alis kirinya. "Berisik banget lo sumpah."
"Ya lo ngeselin! Lo ngelanggar perjanjian! Tadi kan udah janji nggak ada hape selama nugas!"
"Nggak pakai teriak, Biel."
"Emang napa?! Ga seneng?!"
Yang lebih tinggi menghela nafasnya panjang. "Itu gua baru loh megang hape, mainnya pun nggak sampai tiga menit. Tadi itu ada yang ngechat, selagi nungguin lo nulis yaudah gua balesin chat dulu." jelas Gibran. Ia kemudian meraih buku paket yang tergeletak di atas meja lalu membolak-balikkan lembarannya. "Udah ah, bawelnya nanti aja. Selesaiin dulu itu tugas, tanggung banget sisa satu nomor."
"Satu nomor buat tugas yang ini! Belom lagi tugas Bahasa Inggris, Matematika, Sejarah—"
"Arbitrasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial melalui pihak ketiga dan kedua belah pihak yang berkonflik harus menyetujui. Jawaban nomor sepuluh."
Biel melemparkan tatapan datarnya saat Gibran dengan sengaja memotong ucapannya. Tangannya kemudian meraih pulpen di atas meja secara kasar, "Tiap gue ngomong pasti dipotong mulu. Emang anjing." gumamnya pelan seraya lanjut menulis.
Gibran mengangkat kepalanya mendengar gumaman tersebut. "Itu mulut nggak bisa apa nggak ngomong kasar sehari aja?"
"Nggak bisa. Napa? Ga seneng?"
"Nggak usah gitu lagi kedepannya."
"Suka-suka gue. Napa? Ga seneng?"
"Itu mulu, nggak ada jawaban lain apa?"
"Nggak ada. Napa? Ga seneng?"
"Dih?"
"Napa? Ga seneng?"
"Gua sentil ya tuh mulut."
"Sentil aja. Napa? Ga seneng?"
Lalu sedetik kemudian Biel mengaduh kesakitan. "Brengsek! Berani lo nyentil gue?!"
"Berani lah. Napa? Ga seneng?" jawab Gibran santai, niat hati ingin membalikkan ucapan Biel. "Apa liat liat? Napa? Ga seneng?"
Biel hendak berdiri untuk menyerang lelaki tinggi itu dengan pukulannya (yang tak seberapa) namun niatnya seketika ia urungkan kala mendengar ucapan beberapa orang yang duduk tak jauh darinya.
"Gibran kok mau aja ya belajar sama Biel? Apa nggak bakal stress? Anaknya kan nggak pernah mau belajar dan nggak bisa diatur dari dulu,"
"Tau, mana Biel pernah rebut pacar dia. Nggak kesel apa ya si Gibran? Heran gue."
"Hadeh, kalau bukan cucu pemilik sekolah udah diabisin kali dia. Itu mah enggan aja."
"Tapi btw, mending Gibran belajar sama gue nggak sih? Hahaha,"
"Ya iya lah? Lo kan dapet ranking mulu. Pasti nyambung dan setara lah sama Gibran yang pinter. Nggak kayak Biel yang.... Hmm..."
"Yang apa tuh? Hahahaha!"
Mereka tertawa bersama sementara Biel membuka mulutnya tak percaya. Bisa-bisanya mereka berbicara seperti itu didekatnya? Dan apa tadi? Membanding-bandingkan Biel dengan diri mereka? Yang benar saja!
Dengan segera lelaki mungil itu membalikkan badannya kemudian berteriak, "Heh! Cabe!"
Hampir seluruh isi kantin menoleh mendengar teriakan Biel, termasuk si cewek julid beserta temannya.
"Iya lo yang empat orang! Nah! Iya elo! Cabe paling sok cantik sedunia!" seru Biel yang membuat para cewek julid menatapnya aneh dan tersinggung. "Lo kalau gibah langsung di depan gue dong sini, jangan di belakang kek orang cupu. Belagak mau deket-deket Gibran tapi kerjaannya cuma ngegosip tiap hari. Katanya sih pinter dapet ranking mulu. Taunya cuma pinter ngehalu. Cuih!"
Tidak terima temannya dicap seperti itu, salah satu cewek julid mulai menimpali. "Heh!"
"Bahkan sekarang aja bisa dilihat siapa yang menang. Lo duduk disana dengan ngenesnya, gue disini berduaan sama Gibran, umumu~" Biel menjulurkan lidahnya sebentar. "Belajar bareng lagi— eh, nggak, nggak. Gibran lagi bantuin gue nugas. So sweet banget kan? Lo pernah nggak diginiin sama dia? Eh jangan itu dulu deh. Gibran kenal nggak sih sama lo? Nggak ya? Tapi dia tau nggak ya kalau lo hidup? Nggak juga? Ih kasian..."
Biel terus mengoceh, membuat si cewek julid tak berhenti menggeram kesal.
Sementara Gibran tak melakukan apa-apa. Ia memilih diam namun tetap mengawasi Biel agar anak itu tak bertingkah lebih jauh. Sedikit banyaknya, Gibran tertarik dengan episode keributan hari ini yang melibatkan dirinya.
"Seengganya gue nggak pernah rebut pacar orang dan nggak bikin onar mulu kayak lo! Image gue masih jauh lebih baik daripada lo yang bikin semua orang muak."
"Lebih baik lebih baik tai kucing! Im—"
"Bi," tegur Gibran.
Biel langsung mengoreksi ucapannya. "Percuma kali image baik tapi nggak diwaro sama orang yang dicaperin! Yhaaa!"
"Lo cuma ditemenin nugas, sialan! Bukan diajak pacaran!"
Biel langsung menoleh pada Gibran. "Itu! Itu dia ngomong kasar! Buruan marahin!" adunya heboh sambil menunjuk-nunjuk si cewek julid.
Gibran mengendikkan kedua bahunya, tiba-tiba merasa malas untuk menegur orang lain.
"Nggak usah sok ngadu! Gibran tuh males liat lo, bocah tengil yang nyusahin. Nggak tau aja kan lo kalau nggak ada yang suka sama lo? Nggak tau kan kalau lo dibaikin cuma karena lo cucu pemilik sekolah?"
Si cewek julid tersenyum meremehkan.
Gibran mengerutkan kedua alisnya samar.
Sementara Biel memilih untuk mengacuhkan perkataan cewek itu meski dalam hati sedikit tersinggung. "Nyenyenye yang nggak diwaro sama Gibran padahal udah caper sana sini mending diem."
"Dih? Norak banget padahal cuma dibantuin nugas."
"HAHAHA. Nih ya, cabe, gue spill. Abis ini jangan galau loh ya. Gibran selalu chat gue tiap hari, Gibran pernah rela izinin gue biar gue nggak diabsen sama guru padahal kita beda kelas beda jurusan, Gibran selalu mastiin tugas gue aman terkendali, Gibran juga pernah nyanyiin gue. Lo pernah nggak digituin sama dia? Oh lupa, Gibran kan nggak kenal sama lo."
"Pft— Hahahaha!" Si cewek julid tertawa keras diikuti oleh teman-temannya. "Ngatain orang ngehalu padahal sendirinya halu!"
"Halu? HALU LO BILANG?!" Biel mengambil ponselnya yang berada diatas meja. "Lo liat baik-baik nih buktinya! Ngapain banget gue ngehalu kayak lo, anjir!" ujarnya emosi sambil mengotak-atik ponsel.
Melihat itu, Gibran dengan cepat berdiri dan merebut ponsel Biel dari genggamannya— yang tentu saja langsung dihadiahi tatapan protes dari lelaki mungil itu.
Gibran kembali duduk. "Nggak."
"Apa sih? Sini hapenya, mau gue kasih makan tuh cabe pakai bukti chat kita pas lo nyanyiin gue!" tutur Biel dengan mata yang menatap tajam ke arah si cewek julid.
"Nggak."
"Gib!"
"Enggak, Biel."
"Jangan buang-buang waktu deh plis.."
"Gua nggak mau ada yang denger videonya selain lo."
"Hah?" Biel menatap Gibran bingung. Ia terdiam sebentar, "Kenap— OHHHH, ya elah, suara lo bagus kok, percaya deh sama gue." Tangan mungilnya kemudian berusaha mengambil ponselnya yang berada di genggaman Gibran. "Ihh jangan mundur terus!"
Gibran menggelengkan kepalanya. Ponsel Biel ia letakkan di saku bajunya. "Ini bukan masalah bagus atau engganya suara gua."
"Terus....?!"
"Gua nggak nyanyiin orang secara cuma-cuma. If I sing for you, it means there is something special and interesting about you yang bikin gua rela ngelakuin itu."
".... H-Hah?"
"Nyanyian gua malem itu bener-bener khusus buat lo. Gua harap lo nggak dengerin ke siapa-siapa karena gua pilih dan nyanyiin lagu itu buat lo bukan tanpa alasan."