Kiss and Secret


cw& tw// fiction, mention of family issues, mention of past relationship, slight mentioning of dead, harshwords, narration implied with kissing, making out, rollercoaster.


if you're feels uncomfortable after read the tags, you can skip this content, don't force yourself okey!


please read slowly!

•••


Kalau kata orang lain, Ziel adalah pribadi yang tidak mau peduli dengan sekitarnya. Sifatnya yang ambis dan selalu mencoba berdiri diatas tumpuannya sendiri, seringkali membuat manusia di sekelilingnya susah menyentuh. Sekalipuun itu Fathan, sahabatnya sendiri. Ziel punya batasan tertentu yang belum bisa dilihat Fathan, tapi pemuda itu mengerti bahwa sifat keras kepala temannya susah untuk dihilangkan.


Fathan memilih untuk berkompromi, kemudian persahabatan mereka bisa berjalan lancar. Prinsip Ziel tidak akan dibantah, tapi kadang diluruskan. Perkataan Ziel tidak akan diremehkan, tapi sering diajak bertukar pikiran kalau dirasa kurang cocok. Permintaan Ziel tidak ditolak, tapi sering juga ada debat sebelum diwujudkan.


Dalam pertemanan, Ziel masih bisa menyejajarkan pikirannya meskipun sedikit banyak egonya merasa harus dimenangkan. Lalu, bagaimana kalau untuk urusan hati? Bagaimana dengan seluk beluk konsep yang dia pegang dengan dalih "tidak mau menikah"? Bagaimana kalau prinsip yang dia sematkan harus perlahan goyah atas hadirnya manusia lain yang begitu mengayomi dirinya?


Kecewanya manusia tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat.


Ziel mengerti persoalan hati pasti tidak pernah sesederhana dirinya memilih bahan masakan yang sudah dipelajari dari bunda. Ziel juga sadar kalau lambat laun pasti kemauan itu runtuh, entah dengan kecerobohannya sendiri ataupun atas dasar kepercayaan yang menumpuk. Ziel juga paham kalau manusia begitu dinamis sampai dalam tahap percaya juga masih banyak rancunya.


Pikirannya masih berputar menelaah kemungkinan-kemungkinan yang bisa dia jadikan pegangan sementara kakinya melangkah keluar kamar mandi. Tidak beebohong, Ziel merasa dadanya hampir meledak ketika membaca deretan pesan dari manusia yang sudah berbaring. Ujung kaos longgar berwarna putih yang dia pakai menjadi bukti ketika kakinya sudah berhasil menapaki luar kamar mandi, pintunya ditutup kembali, bibirnya digigit kecil karena tidak sanggup berjalan menuju kasur.


Orang yang menjadi penyebab hanya meletakkan satu tangannya dibelakang kepala sebagai penyangga rebahnya, sementara tangan yang lain bermain ponsel.


Ziel masih belum beranjak dari depan pintu kamar mandi tapi matanya sudah fokus pada pemuda lain didepannya. Idan dan pesan singkatnya masih membuat dirinya tidak percaya, mereka baru kurang lebih 2 minggu menjadi teman seatap. Bagaimana bisa pria yang lebih tua melontarkan kalimat "suka" secara gamblang? Keyakinan apa yang coba Idan raih dengan menawarkan pelukan pada yang lebih muda? Ziel harus bagaimana kalau dirinya yang kebingungan ini justru tidak merasa keberatan dengan agenda permintaan sialan dari Mas Idannya itu?


Helaan nafas kasar yang dikeluarkan Ziel mulai terdengar di telinga yang lebih tua. Kepalanya menoleh beralih menatap Ziel yang masih berdiri sambil memilin ujung kaosnya. Celana kain berwarna hitam selutut juga menjadi fokus tatapan Idan, belum lagi poni rambut yang lebih muda tidak ditata rapi dan membuatnya jatuh berantakan di dahi sehingga kesan lucu dari wajah Ziel semakin terlihat.


Idan tersenyum kecil, meletakkan ponselnya di laci nakas sampingnya.


"Ngapain masih berdiri disana, Ziel? Katanya mau tidur"

"Em... iyaa mau tidur"

"Sini kalo mau tidur, mata lo udah sepet banget itu gue lihat"

"Mas Idan"

"Iyaa?"

"Enggak jadi, gue jalan kesana"


Kakinya melangkah lagi, meskipun masih banyak keraguan, tapi matanya sudah harus dipejamkan. Istirahatnya kurang dengan semua kegiatan yang dia lakukan setelah sampai di Bangkok hari ini. Ujung kasur sudah tersentuh, senyum kecil Idan juga sudah bisa dia raih rupanya, decakan kecil dari bibir Ziel membuat senyuman yang lebih tua makin lebar.


Pembatas yang harusnya ada benar-benar disingkirkan oleh Idan. Ziel menghela nafas lagi sebelum naik perlahan dan berbaring di samping yang lebih tua. Jaraknya masih ada meskipun hanya beberapa jengkal saja, karena Idan semakin mempersempit sesuai dengan pernyataan yang dia sampaikan di ruang obrolan mereka.


"Udah merem aja, beneran ngantuk ya lo?"

"Hmm" hanya gumaman pelan yang diberikan Ziel, membuat Idan tersenyum lagi.


Idan sedikit mengintip karena posisi Ziel yang memunggunginya. Benar, tebakannya tepat sasaran ketika mengatakan Ziel sudah terpejam.


Idan tau kalau yang lebih muda sedikit lelah. Tubuhnya juga semakin mendekat dan sampai menyentuh punggung Ziel.


Pejaman mata Ziel masih dilanjutkan ketika dia merasa kepalanya ditarik dan ada tangan kekar menelusup untuk dijadikan bantalan. Tangan satunya juga dirasakan mulai merengkuh hangat perut yang lebih muda. Tubuhnya semakin ditarik dan berakhir menempel dengan tubuh bagian depan yang lebih tua.


Ziel semakin resah karena pelukannya begitu hangat.


Hangat sekali sampai rasanya dia bisa meneteskan air mata sekarang.


Keduanya masih terdiam tapi Ziel juga bisa merasakan kalau poninya sedikit dimainkan oleh jemari tangan kekar yang jadi bantalan tidurnya.


Ternyata pelukan Idan saat malam begitu nyaman.

Ziel sampai hampir terlelap kalau saja dahinya tidak diusap pelan.


"You good, Ziel?"

"Gue udah mau beneran tidur tadi, Mas Idan. Tapi jidat gue lo usap-usap jadinya sadar lagi"


Mendengar keluhan yang lebih muda membuat Idan tertawa pelan, suara tawanya tepat di telinga Ziel, membuat empunya juga tersenyum kecil. Rengkuhannya dirasa semakin erat dengan lengan Idan yang juga melingkupi perutnya.


Ziel tidak ingat kapan terakhir merasa disayang.

Tapi kenapa perasaan senang ketika diberi kasih sayang justru hadir ditengah keraguannya sendiri?


"Kalo ngantuk, tidur aja. Lo besok mau kemana, Ziel?"

"Nyuruh tidur tapi ngajak ngobrol"

"Lo juga aneh, tadi katanya mau nyemil jajan yang gue beli, tapi sekarang udah baring sambil

gue peluk gini. Enak kan dipeluk pas tidur?"

"Nggak usah ngeledek! Gue ngantuk"

"Iyaa iya, ngantuk. Jadi besok mau kemana aja?"

"Hmm, ke kampus temen gue sambil jalan-jalan aja"

"Terus gue gimana?"

"Gimana apanya, Mas Idan?"

"Terus gimana kalo lo jalan sama temen lo? Kan gue ikut biar bisa bareng sama lo terus, Ziel"

"Lo... lo beneran posesif banget akhir-akhir ini, Mas Idan" cicit Ziel yang masih didengar Idan, helaan nafas juga bisa didengar Ziel sebagai balasan.


Ziel tidak masalah sebenarnya kalau Idan memilih ikut dengan alasan ingin dekat dengannya, tapi tidak bisa setiap detik.


"Sama gue terus gamasalah, Om. Cuma besok gue beneran harus ketemu sama temen gue"

"Iyaa, dimana?"

"Di Chula, dia kuliah disana. Sebenernya besok libur kan minggu, cuma ada acara jadi gue tetep disuruh kesana ketemunya"

"Okey"

"Marah?"

"Enggak lah, ngapain marah"

"Kan lo sering marah sama ngomel, Om"


Idan yang mendengar itu sedikit tersenyum, kepalanya menggeleng dan bisa dirasakan Ziel karena posisinya yang tepat berada di belakang kepalanya sendiri. Menyentuh rambutnya, kadang Ziel juga merasa kalau Idan menciumi harum rambutnya yang habis dicuci ini.


"Samponya apa, Ziel?" kan, benar pikirannya.

"Nggak tau, pake yang disediain hotel. Lo nggak keramas ya tadi?"

"Kepala gue pusing, besok aja" keluh yang lebih tua ditanggpi anggukan Ziel.


"Kenapa pusing?"

"Minggu kemarin gue ke Singapur, sekarang ke Bangkok. Lo bayangin aja lah"

"Bayangin duit yang lo keluarin maksudnya?"

"Ziel..."

"Iyaa, maaf Om" bibirnya mencebik ditengah pejaman matanya yang masih menetap.


Keduanya terdiam lagi dengan Idan yang masih tersenyum kecil. Benar kata papanya, hadirnya Ziel bisa membuat senyum yang sudah lama tidsk terukir akhirnya muncul kembali. Tapi Idan tau, dibalik senyumnya sendiri menyimpang banyak pernyataan hidup yang selalu menghantui tiap harinya.


"Gamau ngadep sini?"

"Enggak, gini aja Om"

"Beneran nggak mau, Ziel?"

"Enggakkkk"

"Yaudah, tapi beneran gamau balik badan ya? Gue mau ngobrol"

"Ngobrol kayak gini kan juga bisa, Om"

"Okee... beneran gamau lihat muka gue pas lagi ngobrol, Ziel?"


Ziel menahan emosinya mendengar pertanyaan yang diulang-ulang oleh Idan.


"YAUDAH GUE BALIK BADAN! REWEL BANGET SIH ANJING!" mendengar protesan dan bentakan khas Ziel membuat Idan terkesiap tapi sedetik kemudian semakin menahan nafasnya karena tubuh Ziel benar-benar menghadapnya, dengan mata yang menatap pada bilik matanya, bibir yang cemberut dan alis yang bersungut.


Idan kaget dengan posisi mereka yang semakin intim, pelukannya tidak melonggar. Tapi disisi lain dia juga hampir menyemburkan tawanya ketika melihat pipi yang lebih muda memerah malu atas tindakannya sendiri.


Lucu, Ziel lucu sekali.


Nyatanya tawa renyah yang sudah mati-matian tidak dikeluarkan, akhirnya tidak bisa untuk ditahan. Idan tertawa kecil melihat tingkah yang lebih muda. Mata yang mengantuk tapi masih menyiratkan kekesalan, bibir yang mencebik tapi juga melengkung kebawah disaat bersamaan, pipi yang memerah karena salah tingkah sekaligus kesal dengan yang lebih tua.


"UDAH, MAU NGOMONG APA? GAUSAH SENYUM LU! DARI TADI CUMA MELUK-MELUK DOANG NGGAK PENTING! Ngomong apa sini gue dengerin, nggak jadi ngantuk gue, Om.... anjing emang capek gue" marah-marah tapi juga merengek.


Idan harus bagaimana ya?

Bibirnya sudah boleh dikecup atau belum sebenarnya?


Disisi lain, yang lebih muda merasa nafasnya tertahan ketika menyadari lengan kekar yang masih di perutnya semakin menariknya mendekat. Tubub bagian depannya semakin menempel pada tubuh bagian depan Idan, kedua tangannya saja yang diletakkan dengan ditekuk di depan dada sehingga batasannya ada meskipun juga tidak berpengaruh apapun. Bantalan kepalanya masih lengan Idan yang satunya.


Mereka dekat, begitu dekat sampai Ziel yang mendongak sanggup melihat tanda lahir kecil lucu di bawah mata kanan seorang Idan.


The moles that makes him being a cutest person right now.


Ziel berkedip kecil ketika menyadari juga pakaian yang lebih tua hanya memakai kaos tanpa lengan berwarna putih dan dipadukan dengan celana kain panjang berwarna hitam yang menutupi kaki jenjangnya. Rambutnya juga tidak ditata, poni hitamnya jatuh bebas membuat wajah tegas itu memiliki kesan gemas.


Ziel sampai menggerutu karena dari sini bisa melihat rahang tegas Idan yang membuat hatinya semakin bergemuruh tidak tau malu.


Zaidan, sangat tampan.

Begitu menggoda Ziel yang mati-matian diam, tidak bergerak seenaknya.


"Kenapa panik banget?"

"Sebelum ngomong tuh mikir, Om"

"Just call me "Mas Idan", can you? Besok mau panggil Om lagi gamasalah"

"Iyaa, Mas Idan"


Idan mengangguk pelan.


"Harusnya nggak perlu sepanik itu"

"Sumpah, lo nggak berhak ngomong gini abis ngechat gue kayak gitu tadi"

"We're just cuddle, right?"

"Friends not cuddle like us, Mas Idan"

"Yaudah kita gausah temenan"

"Anak anjinggggg!!!!" desisan Ziel lagi ditanggapi oleh kekehan geli yang lebih tua.


Kepalanya semakin menunduk hampir menempel pada dahi yang lebih muda, tangannya masih merengkuh pinggang yang lebih muda.


Idan semakin memandangi yang lebih muda sampai bibirnya mengeluarkan beberapa kata yang membuat Ziel makin kelu bibirnya.


"Ziel cantik"

"Ziel manis"

"Ziel pipinya merah"

"Ziel, kenapa bisa lo hampir bikin gue ngancurin prinsip gue sendiri?"

"Lo... kenapa bisa sampe bikin gue bilang ke ayah kalau gue semakin ketakutan tapi disaat yang sama gue juga mau lihat lo terus?"


"Ziel, lo terbuat dari apa sampe bisa bikin gue goyah sama yang udah gua bangun susah payah selama bertahun-tahun?"


Syok. Kaget. Kebingungan.

Dua minggu ternyata cukup membuat Idan diporak-porandakan atas kehadirannya.


Ziel masih tidak bisa menjawab tapi Idan semakin mendesaknya dengan pertanyaan lain.


"Lo terakhir pacaran kapan, Ziel?"

"Huh?" akhirnya bibir itu masih bisa bersuara walaupun hanya setitik.

"Lo pernah pacaran? Atau terakhir pacaran kapan?"


Ziel menelan ludahnya dengan pelan.


"Gue belum... gue belum pernah pacaran, Mas Idan"

"Beneran?"

"Iyaa, belum pernah" entah dari jawaban ini juga Ziel mulai melonggarkan perlindungannya. Tangannya sudah tidak menekuk membatasi pergerakan Idan, berubah menjadi agak santai.


"Gue cuma pernah pacaran satu kalo, Ziel. Sekarang mantan gue udah nikah juga sama orang yang lebih baik dari gue. Orang yang bisa diajak berumahtangga sama dia, gue mana bisa"


"Tiga tahun dia cuma sia-sia bareng gue, tapi gue sedih. Bukan sedih karena putusnya sih, lebih ke kok dia mau ya sama orang kayak gue? Padahal dari awal udah gue bilang kalo gue gamau nikah, dia oke, tapi di akhir tetep gue yang dituntut buat ngerti. Gue enggak ngerti, Ziel. Mana bisa gue ngerti kalo semuanya rumit di kepala gue, kan?"


"But you know... we're fine. Gue emang dituntut buat ngerti tapi kita pisahnya juga baik-baik. Jadi nggak ada masalah berarti. Kita juga udah temenan sekarang, temen biasa" Ziel yang mendengar keluh kesah Idan mengangguk paham. Dia mengerti meskipun belum pernah merasakan.


Tapi kalimat Idan sebelumnya seperti menohok kewarasannya.


"Tapi Ziel... kenapa masalahnya muncul justru setelah gue ketemu sama lo? Kenapa pertahanan gue yang masih sanggup gue wujudin di hubungan gue sebelumnya malah sedikit demi sedikit hancur abis ketemu lo? Kenapa lo bisa bikin semua yang gue rencanain hampir lenyap gitu aja?"


Nafas Ziel memburu, belum mau membalas ucapan Idan.


"Gue gamau nikah, Ziel. Tapi kenapa bokap gue sampe bilang dia bersyukur abis tau gue ketemu lo? Terus gue harus ngapain sekarang? Lo juga gamau nikah, gue juga sama. Terus kita harus gimana sekarang, Ziel?"


"Ziel, kenapa abis ketemu lo rumit banget? Kenapa punya perasaan sama lo harus sesusah ini?"


Pernyataan Idan ini menjadi titik balik situasi dalam diri Ziel. Dia hampir duduk tapi yang dia lakukan hanya menghela nafas berat. Bukan seperti dipojokkan, bukan seperti disalahkan, bukan juga seperti diberi beban yang besar.


Tapi Ziel merasa seperti orang yang jahat ketika Idan mengatakan kalimat-kalimat tanya yang dia sendiri tidak tau jawabannya.


"Sebenernya apa yang lo harapin, Mas Idan?"

"Lo kira... lo doang yang kesulitan?"

"Lo kira yang kesusahan itu lo doang? Lo kira takut sendirian selama ini? Setelah ketemu gue... lo pikir ketakutan lo ini nggak pernah gue rasain?"


Nafasnya makin tidak beraturan. Ziel kira obrolan yang dimaksud Idan hanya obrolan ringan sesama "teman". Tapi nyatanya hampir membuat kepalanya meledak.


"Lo kira... selama ini gue nggak ketakutan? Coba lo mikir chat-chat gue, gamungkin gue berani chat spontan ke lo kalo gue nggak ngerasain hal yang sama juga, Mas Idan"


"Terus lo bilang kayak gitu, menurut lo kita harus gimana? Gue juga gatau. Pertanyaan lo, gue nggak punya jawabannya. Gue juga masih banyak ragunya, Mas Idan. Gue masih banyak takutnya. Gue masih banyak kecewanya. Gue masih banyak sedihnya"


"GUE JUGA MAU DISAYANG-SAYANG SAMA LO TAPI GUE TAKUT LO NINGGALIN GUE KAYAK BOKAP! LO GATAU KETAKUTAN GUE SEBESAR ITU ANJING!!!!"


Sejatinya manusia selalu punya cerita tersenbunyi dari semua alasan hidupnya.


Idan terkesiap melihat Ziel sedikit berteriak dengan nada frustasi dalam suaranya. Lebih frustasi dari semua yang diutarakan oleh Idan.


Nafas Ziel mencoba dinetralkan oleh empunya, tatapannya sendu tapi masih mencoba untuk menjelaskan maksudnya.


"Lo cerita kalo keluarga lo nggak sempurna. Selalu nuntut ini itu, mamah lo maksa lo nikah padahal dia sendiri yang bikin lo ketakutan sampe lo dari dulu udah ada niatan gamau nikah. Manusia itu emang tempatnya salah, Mas Idan. Luka yang lo rasain itu juga bentuk kesalahan dari orangtua lo yang nggak bisa jadi orang tua yang baik. Nggak bisa ngasih rumah yang nyaman buat lo, sampe lo mikir gabisa bangun rumah tangga yang baik juga karena pikiran lo udah nancepin hal itu sejak lama"


Ziel menghela nafas panjang, lagi.


"Apa kabar gue? Gue yang selalu nolakin banyak orang kalo ada yang mau serius dengan banyak alesan. Gue selalu bilang ke bunda kalo mau kayak dia supaya bisa bebas hidup, nggak terkekang, nggak banyak aturan, nggak nimbulin kecewa berlebih. Lo tau alesannya apa? Sama, Mas Idan. Gue juga kecewa sama hidup. Gue kecewa pas lihat nyokap gue bahagia sama bokap tapi Tuhan jahat banget sama kita dengan ngambil orang yang kita sayang. Keluarga kita sempet hancur lebur, bunda hampir setengah tahun cuma dirumah bengong sebelum jadi bahagia lagi kayak sekarang"


Nafasnya tercekat tapi tangannya terulur mengusap pipi Idan yang sedikit berisi. Diusapnya pipi lembut itu dengan usapan tak kalah lembutnya.


"Gue gamau nikah, bener. Ditinggalin sama orang yang sayang sama kita tanpa bisa kita peluk lagi raganya itu udah fatal banget menurut gue. Kata orang semua soal takdir, tapi takdir mana yang bikin orang ragu sama jalan hidupnya sendiri? Takdir mana yang bikin orang kecewa sama harapannya sendiri, Mas Idan? Takdir mana yang bikin orang gamau berhubungan sama orang lain karena dia tau kalau masanya manusia itu ada batasnya?"


Ziel sudah hampir menangis tapi semua ditepis dengan tangannya yang membalas pelukan Idan sama eratnya. Tangannya merangkul di leher yang lebih tua, dalam dekapan hangat dominan yang ada didepannya. Ziel tau pasti sekarang Idan masih kaget dengan semua ucapannya.


Kepalanya dilesakkan di ceruk leher yang lebih tua, Ziel juga bisa merasakan punggungnya diusap dengan penuh ketenangan.


"Ziel.... Sorry..."

"Nggak perlu, Mas Idan"


Ziel masih nyaman di posisinya, ternyata direngkuh hangat oleh orang yang dia pedulikan senyaman ini.


"Mas Idan"

"Hmm"

"Setelah tau, lo bakal gimana?"

"Bakal gue sayang-sayang"

"OM IDAN!"

"I told you to not calling me like that for this night, Ziel"

"Gue lagi melow, anjing!"

"Ya makanya ini gue sayang-sayang, gue usap punggung lo biar nggak nangis. Nggak ngerti kah, bocah?"

"Kaki gue boleh meluk badan lo juga nggak, Mas Idan?"


Ziel ini kenapa?

Idan sampai menahan senyumnya tapi kepalanya mengangguk mengiyakan.


"Boleh, sayang"

"GAUSAH SAYANG-SAYANG!!!"


Ziel membentak yang lebih tua tapi kakinya ikut memeluk badan Idan. Benar-benar mereka begitu rapat sekarang, Ziel sampai bisa mencium aroma harum dari badan Idan.


"Dulu gue bisa nolakin orang yang ngajak serius gue soalnya gue juga nggak suka sama mereka. Terus sekarang cara nolaknya gimana kalo kaki gue aja malah meluk badan lo, Mas Idan? Capek gue. Gue juga pengen disayang-sayang tanpa takut kecewa lagi" rengekan khas Ziel yang bersenandung di dekat telinganya.


"Lo suka gue dari kapan, Mas Idan?" pertanyaan lain diluncurkan dari bibirnya.


"Nggak tau, Ziel"

"Sabarnya kapan maksudnya?"

"Hmm... pulang dari Singapur"

"Pas gue sakit?"

"Iyaa, Ziel"

"SEMINGGU LALU DAN LO BARU BILANG GUE SEKARANG?"

"Gue masih yakinin diri gue waktu itu"

"Yakinin diri atau berusaha denial?"

"Dua-duanya sih, cuma yang menang yakinin diri kalo beneran sayang sama lo"

"Anjing, manis banget mulutnya. Gue banting juga lu, Zaidan!"


Idan terkekeh mendengar ucapan yang lebih muda, dia tau kalau Ziel juga masih menenangkan diri dari kuasanya yang frustasi tadi. Usapannya di pinggang berangsur masuk sedikit kedalam baju, menyentuh langsung kulit halus didalamnya. Ziel masih diam, entah sadar atau tidak tapi yang lebih muda masih tidak bergeming.


"Tangan lo kalo kayak gitu nanti gue ketiduran"

"Tidur aja gapapa, enak kan disayang-sayang?" usapannya makin terasa di kulit Ziel.


Ziel sedikit mengusak wajahnya di leher yang lebih tua.


"Enak, selalu enak disayang-sayang terus dipeduliin sama lo, Mas Idan"


Idan tersenyum kecil, telapak tangan hangatnya semakin lembut mengusap kulit pinggang Ziel agar yang lebih muda merasa dilindungi.


"Kalo lo dari kapan sadar sayang sama gue, Ziel?"

"Waktu abis lo suapin bubur"

"Gue abis balik dari Singapur juga?"

"Iyaa... gue waktu itu kayak orang gila dah"

"Kenapa?"

"Kepikiran nyium lo soalnya ganteng banget pas natap gue, tapi gue belum pernah ciuman jadi takut nggak jago"

"Ziel?"

"IYA ANJING GAUSAH DILEDEKIN! GUE MASIH BANYAK TAKUTNYA TAPI KALO EMANG PENGEN NYIUM LO GIMANA???" hampir menangis karena frustasi lagi.


"Ziel... astaga Ziel, lo nggak tau ya?"

"Tau apalagi?"

"Pas gue peluk di depan kulkas itu gue juga mau nyium lo tapi gue sadar lo lagi sakit. Gue juga masih nyoba waras"

"KONTOL!"

"Kalo itu nanti aja, Ziel"

"Bukan itu maksud gue, Mas Idan. Nangis nih gue"


Idan hampir terbahak tapi dirinya urungkan, yang lebih tua memilih menarik kepala yang disembunyikan di lehernya itu. Idan bawa tatapan matanya untuk menatap Ziel dengan lembut.


"Jadi lo nggak nyium gue karena belum pernah ciuman?"

"Dibilang gausah ngatain"

"Tapi bisa ciuman nggak?"

"Bisa lah!"

"Katanya nggak jago"

"TAPI BISA!"

"Yaudah buktiin kalo bisa"

"Om..."

"I told you, Ziel"


Tangannya yang hampir menggebuk dada Idan diurungkan, beralih menahan kepala yang lebih tua. Ziel perlahan mendekat dan menyejajarkan kepalanya. Senyum tipis diberikan Idan menunggu yang lebih muda.


Hampir sampai, dua sentimeter lagi.

Sebelum kecupan basah benar tersampaikan pada bibir yang lebih tua.


Kecupan pertama mereka.

Kecupan pertama Ziel seumur hidupnya.

Dengan Zaidan yang kini tersenyum dalam kecupan yang dihaturkan.


Hanya kecupan, tidak lebih.


Selama beberapa detik berdiam disana sebelum kepala yang lebih muda ditarik untuk menyudahi keinginannya.


"Udah..."

"Enak, Ziel?"

"Hmm"

"Tapi katanya bisa, kok gitu doang nyiumnya?"

"YAUDAH EMANG MAU GIMANA?"

"Lo lebih tau, kan lo katanya pinter"

"Yaudah sini cium gue, gausah banyak bacot, Mas Idan"

"Kan lo yang mau nyium gue"

"JADI LO NGGAK BERANI?"

"Dibilang gausah nantangin terus tengil, Ziel"

"Bilang aja nggak berani"

"Ziel..."

"YAKAN KATANYA LO JUGA PENGEN NYIUM GUE, TERUS KOK MAJU MUNDUR? BILANG AJA NGGAK BERANI EMANG LU BACOT DOANG IDAN! CAPEK GUE, GAUSAH NGOMONG CIUM-CIUM LAGI LAH SAMA GUE. GABERANI KAN LU! GABERANI KOK BANYAK BA-----" mampus, Ziel mampus karena bibirnya terbungkam.


Bibirnya yang banyak omong itu akhirnya dilumat oleh bibir lain yang sudah frustasi dengan cara bicaranya.


Zaidan yang mengernyit dari tadi melihat bibir mungil yang berbicara kasar itu akhirnya menariknya dan dibungkam dengan bibirnya sendiri. Bibir manis yang berhasil dia rasakan dalam cecapannya. Kepala Ziel ditahan ketika ingin dimundurkan, mungkin kaget.


Ziel cenderung menantang yang lebih tua terus menerus, biarkan Idan memberi tau balasannya.


Bibir yang mencumbu bibir lain yang belum pernah terjamah sebelum dirinya. Dia masih melumat atas dan bawah dengan lembut, berusaha membuai Ziel dengan sentuhannya. Lumatannya belum dibalas meskipun dia tau yang lebih muda sudah memejamkan matanya. Cecapannya begitu cepat sampai membuat Ziel menahan nafasnya, ciuman pertamanya begitu intens.


Ziel hampir tidak mampu kalau Idan tidak mengusap pipinya dengan usapan hangat.


Cumbuan yang belum terbalas itu akhirnya dilepas. Idan amati bibir yang sedikit terbuka mengeluarkan erangannya. Ziel juga membuka matanya lagi, kini sedikit sayu.


"Bales kalo emang mau ciuman" katanya sambil makin merengkuh badan mungil di dekapannya.

"Mas Idan... "

"Bales, sayang"


Ziel tidak membalas ucapan yang lebih tua tapi dirinya yang sudah dicumbu lagi akhirnya membalas. Cukup amatir namun mampu membuat Idan tersenyum dalam cumbuannya. Bibir mungil itu sudah berani menyesap bibir bawah yang lebih tua, dibalas dengan sesapan yang lebih dalam sampai tanpa sadar Ziel melenguh dalam ciuman mereka.


Idan yang mengerti segera saja mengusap pinggangnya lagi sambil bilang bibirnya membalas terus-menerus lumatan, gigitan, sesapan yang dihadirkan. Tubuh mereka sudah tidak berjarak, tangan Ziel meremas belakang kaos tanpa lengan yang dipakai Idan, kepalanya mendongak mempersilahkan bibirnya dirajai oleh dominan yang bibirnya begitu tebal dan manis.


Sesuatu yang akan menjadi candunya.


Ziel juga bisa merasakan ketika lidah yang lebih tua mulai diikutesertakan menjilat belah bibir bawah dan atas bergantian, membuatnya makin melenguh karena belum pernah merasakan sensasi yang membuat tubuhnya menggelinjang.


Tapi Ziel tau inginnya cuma satu.

Inginnya yang dari kemarin sampai memaki-maki Fathan karena ucapan pemuda itu menggerogoti sisi warasnya.


Cumbuan mereka masih berlanjut, bahkan lidah Idan sudah mengetuk belah bibir Ziel agar terbuka.


"Eugh.... Mas..." lenguhan Ziel terdengar disela sesapan yang lebih tua, begitu beringas seperti tidak menemui bibir sejak waktu yang lama. Ziel sampai kewalahan untuk mengimbangi.


"Mas..." masih melenguh meskipun tiap bibirnya terbuka, lidah Idan masuk sedikit ke dalam mulutnya.


Tangannya menepuk pelan bahu yang lebih tua membuat kepala Ziel semakin ditekan dekat, lidahnya menjilati segala sisi bibir yang sudah membengkak didepannya. Idan tidak main-main perkara ciuman, dia bisa membuat Ziel pingsan kalau tidak melepasnya sekarang.


Lidahnya hampir dilesakkan ke dalam mulut Ziel sebelum merasakan hentakan tangan di bahunya makin keras. Idan menggeram frustasi tapi tetap melepas cumbuannya ketika sebelumnya menyesap keras sampai bunyi kecipak terdengar di kamar yang mereka tempati.


"Mas.... Mas Idan"

"Sayang... maaf... Ziel sesek ya?"

"Mas Idan"

"Iyaa?"

"Sambil pangku Ziel, mau?"


IDAN HAMPIR TERSEDAK!


Satu, karena permintaan yang lebih muda.

Dua, kenapa Ziel menyebut dirinya sendiri dengan nama? Berniat membuat Idan pening?


Berhasil niatnya, karena Idan sekarang pusing sekali.


"Ziel?"

"Mau dipangku, salahin Fathan yang udah ngotorin kepala gue, Mas Idan"

"Mau dipangku kayak gimana?"

"Ya dipangku... mau dipangku sama Mas Idan"

"Dicium sambil dipangku, Ziel?"

"Boleh?"

"Boleh, sayang"


Idan mendudukkan dirinya dulu sambil bersandar, lalu menuntun Ziel untuk duduk dipangkuannya. Ziel menyelipkan rambutnya ke belakang telinga membuat Idan teesenyum kecil. Kepalanya kini yang mendongak menatap manusia cantik di hadapannya. Tangan yang lebih tua masih setia di pinggang Ziel, tangan yang lebih muda melingkar di leher Idan. Tangan yang lebih tua menarik pinggang itu agar makin menempel pada badannya. Tanpa jarak, tanpa ruang, tanpa merasa canggung lagi.


"Udah dipangku, sayang"

"Manggil sayang mulu!"

"Katanya mau disayang-sayang"

"Hmm mau disayang-sayang sama Mas Idan" pelan sekali sampai membuat Idan terbuai.


Ziel yang ada di pangkuannya itu diajak bercumbu lagi. Kini lebih ganas, lebih intim, lebih membuat otak yang lebih muda tidak bisa berpikir. Pipinya juga dikecupi basah dengan bibir ahli yang lebih tua. Kecupan basah yang membuat nafsunya naik, bibirnya juga dijamah kembali dengan tuntutan yang lebih dalam.


Bibirnya digauli dengan punggungnya yang mulai diusap. Tangan Idan tidak hanya mengusap kulit pinggangnya tapi beranjak ke punggungnya juga. Cumbuan, sesapan, lenguhan mengiringi pergerakan mereka yang tidak tau kapan berhentinya. Rambut yang lebih tua sedikit diusak untuk melampiaskan rasa baru dalam diri Ziel.


Nafasnya terengah tapi keduanya masih bercumbu nikmat seperti tidak ada hari berikutnya.


"Eughh...." lenguhan Ziel mulai terdengar jelas, menerpa sisi waras Idan yang makin tidak terkontrol. Bibirnya menyesap bibir bawah yang sudah mulai membengkak. Bibir atas Ziel juga dijilati sedangkan empunya membalas sebisanya.


Ziel hampir kehabisan nafas saat Idan melepas cumbuannya, digantikan dengan kecupan-kecupan dalam. Kecupan sayang yang berusaha dia sampaikan pada yang lebih muda. Kecupan yang membuat Ziel membuka matanya yang sebelumnya terpejam karena lumatan Idan yang begitu nikmat. Kecupan yang membuat Ziel menatap sayu sambil bibirnya masih dicumbu kecil.


Kecupannya turun menuju sisi leher Ziel yang membuat empunya menahan nafas. Baru kali ini juga ada yang menjamah lehernya. Hanya kecupan basah yang diberikan Idan tanpa meninggalkan jejak merah.


"Mas Idan"

"Mas...."

"Uhh.... Mas udah, sayang..."


Sapaan "sayang" dari bibir yang lebih muda membuat Idan mengecup basah leher itu untuk terakhir kali sebelum menghentikan kegiatannya.


Tatapan sayang dan penuh puja keluar dari mata Idan ketika menatap yang lebih muda. Wajahnya cantik, dengan bibir bengkak, pipi yang bersemu, tatapan memuja yang juga dihaturkan pada yang lebih tua.


"Cantik, Ziel cantik"

"Ngerti, tapi punggungnya jangan diusap terus"

"Takut?"

"IYALAH!"


Idan terkekeh geli sebelum merapikan lagi kaos bagian belakang Ziel, tangannya dikeluarkan dari sana, dan merengkuh badan mungil di pangkuannya dengan nyaman.


"Bibirnya udah bengkak padahal belum seberapa, Ziel"

"Gausah ngatain terus"

"Belum juga lidahnya gue mainin"

"MAS IDAN!"

"Iyaa sayang, besok-besok aja masih ada waktu"


Ziel masih mengusap pipi yang lebih tua sambil bibirnya yang menggerutu membuat Idan makin betah memandang si cantik. Tapi senyum Idan pudar ketika digantikan rasa kaget karena bibirnya dilumat tiba-tiba, hanya sebentar. Pipinya juga dicium lama oleh Ziel, hidungnya juga dikecup, dagunya juga dimanja dengan cumbuan yang lebih muda, lalu kembali lagi ke bibir Idan yang sudah membalas lembut lumatan Ziel.


Lumatannya tidak sampai 5 menit, lalu dilepaskan lagi oleh empunya. Ziel langsung melesak masuk dalam dekapan Idan, menyembunyikan kepalanya di balik bahu yang lebih tua.


Malu rupanya.


Idan tersenyum kecil sambil tangannya mengusap lbuat rambut halus yang sedikit berantakan didepannya.


"Kenapa, Ziel?"

"Bibir lo enak banget, Mas Idan"

"Mau lagi?"

"Enggak, besok aja. Bibir gue udah bengkak. Gue malu... tapi bibir lo enak, capek"


Idan tertawa kecil lalu membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu makin masuk dalam dekapannya. Bahu yang tertutup kaos dikecup dengan sayang.


"Yaudah ayok tidur"

"Terus kita gimana, Mas Idan?"

"Gimana apanya?"

"Terus gimana kalo udah kayak gini? Gue sayang sama lo, lo juga sayang sama gue. Terus gimana?"

"Mau pacaran, Ziel?"

"Gue nggak mau nikah, Mas Idan"

"Lucu! Gue tanya apaan coba"

"Nggak mau, Mas Idan"

"Yaudah gini aja"

"GINI AJA GIMANA ANJING?!"

"Kalo mau disayang-sayang bilang gue aja, gue full punya lo 24 jam tiap hari"

"Bucin banget ngentod!"

"Mulut lo kok kayak minta dikasarin. Diem, Ziel!"

"Lo juga masih gamau nikah?"

"Masih"


Keduanya terdiam sejenak, tapi Idan dengan pelan juga mengubau posisinya untuk berbaring lagi dengan Ziel yang dia baringkan di sisinya.


"Ziel..." ucapnya ketika yang lebih muda masih sibuk mengusap pipinya.


Keduanya kembali berhadapan dengan Idan yang menjadikan lengannya tumpuan lagi.


Helaan mafas pelan muncul sebelum kalimat lain mengikuti.


"Keyakinan emang nggak bisa cepet datengnya, Ziel. Bakal pelan banget jalannya, tapi nggak masalah. Mau nikah atau enggak ujungnya, yang penting udah dicoba dulu. Kalo ujungnya gagal sekalipun, seenggaknya gue pernah ngerasa disayang sama orang yang gue sayang juga"


"Ziel, takdir emang banyak maunya. Tapi manusia juga banyak akalnya. Jadi, pelan-pelan aja. Nggak semua harus sekarang, nggak semua harus di detik itu juga. Gue coba, lo juga belajar buat nyoba, ya?"


Ziel masih menatap yang lebih tua tapi kepalanya mengangguk dengan pelan.


Idan mengusap lagi rambut yang lebih muda membuat matanya semakin berat.


"Tidur aja, sayang"

"Hmm... goodnight, Mas Idan. Peluk gue terus ya"


Idan memandang wajah damai didepannya.


Keduanya banyak menyimpan luka, bukan semata wujud pemberontakan, tapi benar-benar sulit yang dirasakan.


Kalau orang-orang tanya, kapan menikahnya?

Salah besar.


Harusnya tanya, kapan yakin dengan diri masing-masing buat bisa maju dan nggak fokus dengan rasa takutnya?


Jawabannya tetap nggak ada.


Tapi coba tanya, kapan pacarannya?

Pasti dihempas baik dengan jawaban "emang siapa yang pacaran?"


KONYOL!


Ini cuma soal dua manusia yang terlalu disakiti dunia. Ini cuma dua manusia yang perlu diyakinkan berkali-kali kalau semua tidak harus sesuai rencana.


Ini cuma kisah kasih dua anak manusia yang sudah sadar akan perasaan masing-masing, tapi belum beranjak dari hati yang berat untuk beralih.



•jetaimemoii