Siapa?
; part of KMU @nyyosor
Riki tidak pernah ragu kepada suaminya sekalipun. Bahkan ketika dunianya hampir runtuh saat Gavin malah meninggalkannya untuk beberapa hari, setelah mengetahui Riki hamil; tepat sepuluh tahun lalu. Riki tidak pernah ragu terhadap Mas Gavin-nya. Prasangka-nya selalu diisi dengan hal-hal baik, sebab apa yang dilakukan oleh lelaki yang lebih tua sedari dulu, merupakan anugerah yang Riki bahkan tidak berani impikan sewaktu kecil. Mencintainya, mengusahakannya dan menikahinya; tiga hal yang akan selalu Riki ingat sampai akhir hayat.
Ketika dia mengatakan kepada Karina bahwa dirinya baik-baik saja setelah diberi tahu tentang isu pergundikan, Riki betulan merasa seperti itu. Dia tak terusik dengan fakta bahwa diluar sana bisa saja ada yang mengincar suaminya. Namun walaupun begitu, bukan berarti Riki setenang itu. Jauh dalam lubuk hatinya, ada rasa takut kehilangan Gavin. Sudah banyak skenario dia pikirkan tentang bagaimana ia akan kehilangan lelaki yang lebih tua. Riki adalah pemikir yang berlebihan. Ah, Overthinker, itulah dia.
Riki sudah memikirkan apa yang akan dia lakukan jika saja Gavin pergi meninggalkannya. Entah karena sosok lain yang lebih baik dari Riki atau karena memang mereka sudah tidak cocok.
Riki sudah memikirkan apa yang akan dia lakukan jika Gavin mulai berubah, tidak sehangat dulu dengan senyum jahilnya.
Riki juga sudah memikirkan jika Gavin benar-benar meninggalkannya dalam arti itu adalah takdir Tuhan. Dimana kehidupan dan kematian dari setiap orang punya jalannya masing-masing.
Namun Riki tidak pernah memikirkan, bagaimana jika dia yang malah mengecewakan Gavin.
Diskusinya dengan Binar menyadarkan Riki atas fakta yang tak pernah dia pikirkan. Benar juga, bisa saja yang ditaksir orang-orang itu aku, bukan Mas Gavin. Riki geli sendiri saat memikirkan itu. Sebab dia sudah beranak satu. Banyak puji yang menghampirinya seiring waktu tak akan buat dia besar kepala kecuali pujian itu dari Gavin, suaminya. Tetapi Riki juga bukan orang yang naif. Riki sadar bahwa dirinya memang rupawan, dan perubahan dalam dirinya semakin membuatnya mencolok.
Harlina, Ibu mertuanya, adalah salah satu orang yang paling sering memujinya, setelah Ganesh. Ayu? makin cantik aja, begitu katanya setiap kali mereka bertemu. Dan memang, sejak menikah, Riki telah banyak berubah. Dia tak lagi sekadar istri muda yang pemalu dan lugu—ia kini bisa berbahasa Inggris dengan lancar, mampu mengimbangi keluarga konglomerat yang ia masuki, pandai bersosialisasi, dan tentunya, semakin mahir dalam berdandan serta memadu padankan pakaian supaya ibu mertua yang seorang Desainer Kondang itu bangga padanya.
Namun, meski telah menjadi sosok yang luar biasa dibandingkan dirinya yang dulu, Riki tak serta-merta merasa aman dengan posisinya. Riki selalu cemas. Cemas dengan fakta dia juga bukan sosok yang sedari awal diinginkan di keluarga ini. Riki takut saja jika suatu hari akan ada sosok pengganti yang sesungguhnya, itu hanya ada di kepalanya saja.
Ia tahu, pernikahan yang bahagia selama sepuluh tahun ini adalah anugerah satu banding sejuta—dan justru karena itu, ia selalu dihantui rasa takut. Jika dulu ia hanya mengkhawatirkan kemungkinan Gavin tergoda oleh orang lain, kini ia mulai melihat masalah dari sisi yang berbeda. Bagaimana jika bukan Gavin yang menjadi sasaran, melainkan dirinya?
Pikirannya mulai menyusun ulang segala kejadian yang ia anggap sepele sebelumnya. Tatapan-tatapan lama yang ia abaikan, senyum ramah yang mungkin lebih dari sekadar keramahan, hingga pujian yang dulu ia anggap basa-basi normal—sesama orang tua murid.
Perlahan, Riki mulai menyadari bahwa segala kegelisahannya bukan sekadar ilusi. Ia semakin peka terhadap cara beberapa pria memandangnya, terutama di lingkungan sekolah Ganesh. Awalnya, ia mengira ini hanya efek samping dari kekhawatiran yang dipicu oleh gosip ibu-ibu. Tapi semakin hari, semakin banyak hal kecil yang terasa ganjil.
Salah satunya adalah bagaimana beberapa bapak-bapak di sekolah sering menyapanya dengan terlalu akrab. Bukan sekadar percakapan ringan tentang anak-anak, tetapi lebih dari itu—pujian terselubung, komentar mengenai penampilannya, hingga cara mereka menunggu kesempatan untuk berbicara dengannya lebih lama.
Yang paling menonjol di antara mereka adalah Kim Jiwoong—duda Korea yang anaknya berteman dekat dengan Ganesh. Jiwoong adalah pria yang tampak sempurna di luar, dia selalu tampil rapi dan pandai membawa diri.
Di awal perkenalan mereka, Riki tidak pernah merasa ada yang aneh. Baginya, Jiwoong hanyalah seorang ayah dari Yujin, teman anaknya; yang kebetulan sering bertemu dengannya. Namun setelah percakapannya dengan Binar, ia mulai memperhatikan detail-detail kecil. Jiwoong selalu menyapanya lebih dulu, selalu mencari topik di luar urusan anak-anak mereka, bahkan sering menawarkan bantuan yang tidak ia minta.
Ada satu kejadian yang benar-benar membuatnya berpikir ulang. Hari itu, Riki datang menjemput Ganesh mengenakan pakaian oneset sederhana berwarna hitam, Tidak ada yang berlebihan. Bahkan Riki tak memakai makeup saat itu karena buru-buru.
Saat ia berdiri menunggu di depan lobi, Jiwoong menghampirinya dengan senyum yang terlalu ramah. “Dek Riki selalu terlihat anggun, ya,” katanya santai. Kata-kata itu mungkin terdengar biasa, tetapi tatapan matanya bertahan lebih lama dari seharusnya. Ditambah lagi dengan imbuhan Dek yang menambah kesan dekat. Dan saat itu, Riki menyadari sesuatu—pujian itu bukan sekadar basa-basi. Perkataan Binar berputar kembali, something fishy. Ada yang aneh.
Sejak hari itu, interaksi mereka terasa berbeda di mata Riki. Mungkin sebelumnya ia terlalu sibuk dengan pikirannya tentang Gavin hingga tidak melihat tanda-tanda ini. Namun sekarang, ia mulai merasa waspada. Bukan hanya karena Jiwoong semakin terbuka dengan perhatiannya, tetapi juga karena ibu-ibu lain mulai menyadari hal ini.
Seorang ibu yang akrab dipanggil Julie, berbisik sambil tersenyum jahil, “Duh, sis Riki akrab sekali sama Pak Jiwoong, ya. Duda ganteng lagi. Kalau saya jadi suami sis, udah deg-degan tuh.” Riki hanya tertawa kecil saat itu, tetapi dalam hati, ia merasa semakin tidak nyaman.
“Kamu hati-hati dek. Bahaya ah orang kayak dia,” ungkap Yeji.
Lalu, untuk pertama kalinya, Karina yang biasanya enggan terlibat dalam gosip akhirnya angkat bicara. “Kali ini aku setuju.”
Riki semakin tidak nyaman.
Ketidaknyamanan itu terus menghantuinya hingga terbawa ke rumah. Biasanya, saat Gavin pulang, semua kecemasannya menghilang. Suaminya selalu berhasil membuatnya merasa aman dengan cara yang santai dan penuh kasih sayang. Namun kini, justru kehadiran Gavin semakin membebani pikirannya.
Riki ingin bercerita tentang Jiwoong dan bapak-bapak lainnya. Sungguh, ingin Riki mengatakan bahwa ia merasa terganggu. Tetapi di saat yang sama, ia takut Gavin akan meremehkan kekhawatirannya atau justru menanggapinya dengan bercanda.
Suatu malam, setelah makan malam, Riki merasa suaminya mendekat kearahnya yang tampak sibuk dengan pikirannya. Gavin ikut duduk di sofa. “Ayu, apa ada kejadian penting yang aku nggak tahu?” tanyanya dengan lembut.
Riki mencoba mengabaikannya, tetapi Gavin tidak menyerah. Dengan nada menggoda, ia menambahkan, “Atau jangan-jangan… ada yang naksir kamu di sekolah Ganesh, ya?”
Perkataan Gavin yang ringan itu membuat Riki terkejut. Riki tahu Gavin pasti bercanda, tapi mata cantiknya yang membesar, merasa terkejut karena Gavin baru saja membaca isi pikirannya dengan tepat. “Kok gitu mas?” tanyanya curiga.
Gavin tertawa kecil, menatapnya penuh keyakinan. “Karena aku tahu istri aku cantik banget,” ia menangkup kedua pipi Riki yang mulai merona karena pujian dari suami tampan-nya. “Kalau aku aja betah ngeliatin kamu tiap hari, aku yakin banyak orang di luar sana yang juga mikir hal yang sama. Ganesh juga pasti setuju.”
Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lega, ‘kan senang kalau suami memuji?
Kalo mas aja anggep gitu, orang lain gimana..
Riki selalu merasa Gavin adalah suami dan ayah yang baik. Dia betul-betul bertobat dan meninggalkan masa mudanya yang liar. Tapi ketakutan itu selalu menggerogotinya bahkan di malam hari. Saat ia membuka mata dan mendapati Gavin tidur tenang disampingnya, Riki yang berkeringat menggapai wajah tampan itu untuk dibelai. Ditepuknya puncak kepala Gavin dengan sayang lalu tubuhnya mendekat, memeluk suaminya erat seperti takut kehilangan.
Saking eratnya, Gavin sampai terbangun.
“Hm? Ayu?” Gumam Gavin sambil menoleh balik kearah Riki. Dia mengelus lengan Riki yang kini berada diatas tubuhnya dan kemudian Gavin ambil jemari lentik itu, “kenapa sayang? Kebangun?” Kemudian dikecupnya jemari Riki sambil melihat kearah si cantik.
“Mas,” Riki memanggil dengan nada ragu.
“Tadi waktu kak karin kasih oleh-oleh, kamu ada ngobrol banyak?”
Gavin terlihat berpikir sejenak, seperti berusaha mengingat, “dibilang banyak ya enggak. Sekedar bilang makasih, terus aku sapa anaknya karna dia jemput juga kan. Ya.. yaudah?”
Riki mengangguk, “kak Karin baik banget tau mas. I think she’s my favorite diantara ibu-ibu JIZ.” Kata Riki mulai terbuka, ia masih ragu untuk langsung menceritakan tapi seperti kata Binar, baiknya memang diceritakan saja supaya tak ada beban berat di hatinya.
“Oh ya?” Gavin merapatkan pelukan mereka, “yang lain gimana?”
“Terlalu sering… banyak. Banyak bergosip.” Kata Riki sambil menatap suaminya dalam-dalam, “kalau aku kebawa arus, kamu marah nggak?”
“Kebawa arus.. gimana?”
“Percaya sama gosip-gosipnya.”
“Kamu habis denger apa sih, yu?”
Riki menggigit bibir, “Enggak, gak ada apa apa kok.” Katanya sambil menaruh wajah cantiknya pada dada bidang Gavin. Dia bisa mendengar gemuruh yang sama seperti dulu. Gavin masih mencintainya sama besarnya—atau mungkin malah lebih besar dari yang sebelumnya. “Ayo kita tidur mas.”
“Kita udah bareng berapa tahun ki?”
Oh, bukan ayu lagi yang terucap dari bibir lelaki yang lebih tua. “Sepuluh tahun… lebih?” Cicit Riki sambil meremat kaos Mas Gavin-nya.
“Iya, sepuluh tahun.” Gavin menatap Riki dalam-dalam, “sepuluh tahun—itu dari Ashilla masih SD, sampe sekarang dia udah mau lulus kuliah. Lama lho, panjang perjalanan kita.” Kata Gavin sambil menyinggung saudara sepupunya yang dulu, saat pernikahan Gavin dan Riki, masih kecil dan ceria. Kini gadis itu sudah tumbuh dewasa dan sangat cantik. Menjadi salah satu bukti waktu terus berjalan dan bagaimana kebersamaan Gavin dan Riki, yang saling pengertian satu sama lain.
“Aku tau kalau kamu kepikiran sesuatu, ayu. Sayang, cantik. Apa ada yang buat nggak nyaman?”
“Tapi mas jangan ketawa…”
“Kenapa?”
“Ya bener, kayaknya… ada yang naksir….”
“Oh yaa?” Gavin malah tersenyum lebar, seolah itu adalah hal yang menyenangkan untuk didengarkan. “Gimana? Siapa?”
Riki merajuk, “Tuh kan. Responnya mas selalu kayak gini. Aku tuh serius!”
“Iya, maaf ya sayang. Ayu-ku,” kata Gavin sambil tepuk-tepuk kepala Riki dengan sayang. “Mas disini, mas dengerin apapun yang Riki mau sampaikan.”
Riki mengerjap pelan, menatap wajah Gavin yang masih setengah mengantuk namun terlihat begitu hangat. Suaminya memang selalu seperti ini, selalu sabar mendengarkan apa pun yang ingin ia ceritakan, bahkan jika itu hanya sekadar curhatan tentang tren fashion atau gosip-gosip kecil dari ibu-ibu JIZ.
Tapi kali ini obrolannya… konyol menurut Riki.
Riki menggigit bibirnya. Dia ragu, takut terdengar konyol. Namun, tatapan Gavin yang lembut membuatnya sedikit lebih percaya diri. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya bersuara.
“Jadi… aku nggak tahu ya ini benar atau cuma aku aja yang kebanyakan mikir,” ujarnya sambil memainkan jemari Gavin. “Tapi setelah denger gosip ibu-ibu, aku jadi kepikiran satu hal…”
Gavin masih tersenyum kecil. “Tentang?”
“Jadi mereka tuh bilang, kalau banyak gundik di sekolah Ganesh yang suka sama bapak-bapak ganteng, kaya, dan sukses,” ujar Riki pelan, berhati-hati memilih kata. “Soalnya ada ibu-ibu yang ketauan jadi simpenan bapak-bapak gitu mas!”
Gavin menaikkan sebelah alisnya. “Hmm?”
“Nah, awalnya aku mikir, ya wajar sih kalau mereka kepincut Mas.” Riki buru-buru menambahkan, “Maksudku, Mas itu—ya lihat aja sendiri, pantes kan kalau disukai?”
Gavin terkekeh kecil, tapi ia tidak memotong.
Riki mendengus, dia tahu suaminya pasti sudah besar kepala, “Terus aku curhat deh sama kak kak Binar, dan dia bilang… ‘lebih ke kamu nggak sih ini yang ditaksir?’”
Gavin terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terus, kamu jadi kepikiran kalau yang mereka suka bukan aku, tapi kamu?”
Riki mengangguk, pipinya merona malu.
“Tapi kan aku udah punya Ganesh, Mas.”
“Terus kenapa?” Gavin justru tertawa pelan. “Ayu kan itu masih muda, cantik, elegan. Makin ke sini, kamu makin kelihatan dewasa dan anggun.” Ia mengangkat tangan Riki dan mengecupnya dengan lembut. “Jadi kalau ada yang naksir, ya wajar banget.”
Riki mendengus, menarik tangannya dari genggaman Gavin. “Tapi aneh, Mas. Masa iya aku?”
“Kenapa aneh?”
“Karena aku ngerasa ibu-ibu tuh lebih sering ngomongin Mas.” Kata Riki, “lagian istrinya ditaksir kok malah kayak santai banget!
Gavin menerima pukulan kecil di bahu. “Aduh. Maaf sayang, nggak gitu loh.” Katanya membela diri. “Ya, bisa jadi mereka cuma mengalihkan perhatian. Atau mereka nggak sadar kalau justru bapak-bapak yang suka sama kamu.”
Riki terdiam. Pikirannya berputar kembali ke beberapa interaksi yang ia alami akhir-akhir ini. Tatapan penuh arti dari Kim Jiwoong, cara pria itu selalu mencari kesempatan untuk berbicara dengannya, bahkan kadang menawarkan bantuan kecil yang sebetulnya tidak perlu.
Sebenarnya, kalau dipikir lagi, sejak kapan Riki mulai merasa tidak nyaman dengan perhatian Jiwoong? Mungkin sejak pria itu mulai terlalu ramah? Atau sejak beberapa kali dirinya melihat Gavin didekati ibu-ibu, lalu secara otomatis membandingkan?
Gavin melihat ekspresi istrinya yang mulai serius, lalu menarik Riki lebih dekat. “Jadi, ada yang spesifik nggak? Maksudku, ada yang bikin kamu benar-benar merasa ada yang naksir?”
Riki menggigit bibirnya. “Kayaknya… Kim Jiwoong.”
Gavin mendongak sedikit, matanya menyipit tanda berpikir. “Papanya Yujin? Duda Korea itu?”
Riki mengangguk. “Iya, awalnya aku pikir dia cuma ramah. Tapi makin lama, kok rasanya dia perhatian banget. Selalu nyapa, nawarin bantuan, kayak ada sesuatu aja…”
Gavin tertawa kecil, tapi kali ini bukan dengan nada menggoda seperti sebelumnya. Ada sedikit nada protektif di sana. “Jadi dia naksir istri orang?”
“Belum tentu juga, Mas!” Riki buru-buru berkata, “Mungkin aku aja yang kepedean atau terlalu banyak mikir.”
Gavin menyeringai. “Atau mungkin kamu terlalu cantik sampai orang nggak bisa nggak naksir?”
Riki mendorong bahu Gavin pelan. “Mas, serius…”
Gavin kembali menatapnya dengan lembut. “Oke, oke. Jadi kamu sebenarnya lebih kepikiran yang mana? Gosip ibu-ibu yang bilang ada perempuan yang suka sama aku, atau fakta kalau ada laki-laki yang mungkin suka sama kamu?”
Riki terdiam.
Jujur, kalau ditanya seperti itu… yang mana ya, yang lebih mengganggunya?
Sejak awal, ia tidak pernah meragukan Gavin. Bahkan ketika ada gosip bahwa ibu-ibu mengincar suaminya, Riki lebih banyak bercanda atau menganggapnya angin lalu. Tapi saat sadar bahwa bisa jadi dirinya sendiri yang menjadi incaran, justru rasa gelisahnya muncul lebih besar.
Kenapa?
Karena jika ada perempuan yang menyukai Gavin, ia tahu betul bagaimana suaminya. Gavin tidak akan tergoda begitu saja, apalagi sampai meninggalkannya. Ia tahu betapa besarnya cinta Gavin untuknya. Tapi jika ada laki-laki lain yang menyukainya… bagaimana kalau Gavin yang justru merasa kecewa?
Bagaimana kalau Gavin mulai berpikir bahwa Riki yang terlalu menarik perhatian?
Bagaimana kalau Gavin merasa—walau tanpa disengaja—Riki yang membuat laki-laki itu berharap?
“Ayu?”
Gavin memanggilnya dengan suara lembut, jari-jarinya mengusap pipi Riki dengan penuh kasih sayang.
Riki menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Aku lebih kepikiran kamu.”
Gavin mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Aku takut kalau Mas jadi mikir yang aneh-aneh tentang aku.” Riki menggigit bibirnya. “Takut kalau Mas jadi kecewa atau marah gara-gara ini.”
Gavin menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Ia lalu membalikkan tubuh, menindih Riki dengan lembut sambil menatap istrinya dalam-dalam.
“Aku cuma mau kamu tahu satu hal.” Suaranya lebih rendah, lebih serius. “Aku nggak akan pernah ragu sama kamu. Sama kayak kamu yang nggak pernah ragu sama aku.”
Riki berkedip, lalu merasakan sentuhan lembut bibir Gavin di dahinya.
“Apa pun yang terjadi, kita hadapi bareng-bareng.”
Riki terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya…”
Gavin tersenyum, lalu mengecup bibirnya dengan sayang dan kemudian kembali ke posisinya. “Sekarang tidur, cantik. Kamu kebanyakan mikir.”
Riki tertawa kecil, mengubur wajahnya di dada Gavin. “Iya, Mas.”