🌸 // BinRae • Soft Gazes, Wispy Touch


Pair: Sung Hanbin x Kim Taerae

Tags: boys kissing, established relationship, make out, implied nsfw.







Sudah lama sejak mereka bisa menghabiskan waktu berdua. Biasanya, kak Hanbin akan menjemputnya pulang setelah mata kuliah terakhirnya, mereka akan makan malam bersama sebelum sang lelaki Sung mengantarnya pulang. Taerae tak masalah dengan kegiatan mundane, toh ia bisa bersama kekasihnya meski suasana mereka makan malam suka tifak kondusif, atau perjalanan mereka lebih banyak senyap karena Taerae terlalu lelah setelah seharian belajar.


Tapi besok sabtu, jadi Taerae sudah minta izin untuk pulang ke apartemen lelaki Sung alih-alih ke rumahnya sendiri. Beruntung, permintaannya dikabulkan.


Kegiatan mereka tidak banyak berbeda di dalam kamar dibandingkan dengan ketika study-date di luar kampus; Taerae akan sibuk dengan buku bacaannya, sedangkan Hanbin memangku laptop di sisinya sembari merampungkan tugas kuliah atau apapun mandat organisasi yang jatuh pada pundaknya—kekasihnya itu, suka tidak bisa bilang tidak kalau soal pekerjaan (not like Taerae is any better, beruntung kegiatan Taerae tidak banyak).


Senyap masih jadi teman mereka, hingga,


“Rae, apa kakak boleh pangku Rae?”


Suara pemudanya membuatnya menoleh, mendapati laptop yang sebelumnya nangkring di pangkuan Hanbin kini telah pindah ke meja kopi di hadapan mereka. Sejenak dipandangnya sang lelaki Sung, mencoba menerka keinginan Hanbin—tentu, permintaan soal pangku itu gamblang, tapi kak Hanbin nggak akan minta pangku kecuali dia ada niatan lain.


Sembari meloloskan lututnya dari rengkuh tangan dan sedikit meregang tubuhnya yang kaku, pemuda Kim itu menjawab, “apa kakak sudah selesai menugasnya?”


Hanbin menggeleng kecil. “Masih banyak, tapi harusnya aman jika sudah mulai dicicil.” Toh, besok sabtu, Hanbin akan punya waktu untuk mengejar seluruh ketinggalan itu. Untuk kali ini, dibiarkannya waktu bergerak di antara mereka lambat selagi ia mengejar afeksi yang tertunda hampir seminggu (keduanya sibuk, dan Hanbin mendapati dirinya semakin tak sabar menanti akhir minggu bersama sang kekasih).


“Mm,” Taerae seolah berpikir. “Kalau begitu, nggak apa-apa, kak Hanbin boleh pangku.” Dibantunya tubuh yang lebih mungil berpindah dari sofa di sisinya ke pangkuan, memperhatikan bagaimana Taerae menyamankan diri hingga tatapan mereka bertemu dalam pandang sejajar. Ada senyum tipis yang dibagi, Taerae menaruh kedua tangannya melingkar pada pangkal leher Sung muda, menyerap hangat tubuh hangatnya dan merasakan dadanya membuncah.


Nggak setiap hari mereka bisa begini, jadi Taerae mau ingat bagaimana Hanbin di bawah sentuhnya.


“Lalu kalau sudah di pangkuan kakak, Rae harus apa?”


Hanbin menemukan tempat ternyaman bagi kedua tangannya di lingkar pinggang pemuda itu, menarik tubuh Taerae lebih dekat padanya. “Jika minta cium, apa boleh?” Hanbin melempar senyum di akhir tanyanya. Pertanyaan demi pertanyaan, cara keduanya berkomunikasi karena untuk memahami satu sama lain adalah langkah untuk memberikan Taerae yang terbaik. Toh, jika pemuda itu sudah tak sabar, Hanbin selalu paham waktunya untuk berhenti berbicara dan mengandalkan sentuhnya.


“Boleh, Rae rindu dicium.”


Dan inilah waktu yang tepat untuk menghentikan semua kata, menggantikannya dengan kecup ringan pada sepasang bibir yang mencebik senyum tipis. Didengarnya Kim muda melepas nafas tipis sebelum tenggelam dalam cium yang sesungguhnya—cium yang diajarkan oleh dan hanya boleh dipraktikan dengan Sung Hanbinnya. Rengkuh lengan pada leher yang lebih tua mengerat, Taerae mendapatkan genggam pada belakang kepala sang kekasih (satu yang menjanjikan rasa aman tanpa perlu takut untuk jatuh).


Hanbin mengambil waktunya—tiap sekon—dengan baik, menelisik tiap jengkal bibir penuh milik Taerae dengan kuluman separuh tak sabar. Semakin lama semakin dalam, semakin pula nafas diirit, mencipta desah tipis setiap Taerae harus menarik nafas di antara jeda bibir mereka. Lengang ruangan di sekitar mereka perlahan ditingkahi suara-suara lembut dari dua insan yang merindukan satu sama lain, yang mengucurkan rindunya dalam sentuh-sentuh ringan yang hanya dimengerti keduanya.


Hingga kala telapak Kim muda menangkup pipi sang kekasih, mendongakkannya, dan menjatuhkan seluruh atensi, kesediaan dan nafasnya, barulah Hanbin tahu bahwa ia dipersilahkan untuk melakukan lebih. “Rae,” di antara kecup, Hanbin menemukan kata-katanya, “lutut Rae menimpa sisi paha kakak.”


Dengan erang kecil, Taerae mengubah posisi duduknya. Tangkup tangan Hanbin berubah, menjaga di sisi pinggul pemuda itu. Ciuman mereka diselingi gigitan kecil, Hanbin pada bibir bawah Taerae, dan sekali waktu Taerae hampir menggigit lidah kekasihnya.


Seolah ruangan kisut di sekitar mereka, dan tak ada yang bisa mereka lakukan selain merengkuh satu sama lain demi mengisi spasi yang tak seberapa. Hingga kebutuhan bernafas mengalahkan segalanya, barulah mereka melepas pagut, terengah di hadapan wajah masing-masing.


“Kak—nnhh,” kalimat itu tak pernah rampung, karena kini Hanbin meniti kecupnya pada leher pemudanya, merasakan desir ingin mengalir bersama darah pada urat merihnya. Menghidu wangi manis dari kerah baju Taerae sebelum menemukan titik untuk menjatuhkan kecup dan gigit kecilnya. Pekik lepas dari bibir yang lebih muda—lembut, manis, sanggup membuatnya gelap mata.


Belum sempat Taerae memroses keadaan, kini tubuhnya berpindah ke gendongan sang kekasih, yang membawanya menuju kamar dengan langkah cepat.


“Rae,” lagi, panggilan ringan, kini hanya bisa dibalas dengan gumam kecil dan penuh nafas. “Rae, kakak boleh sayangi Rae malam ini?”


Hanbin mendapatkan jawabannya dalam anggukan lemah pada pundak, pula renggut jemari Taerae pada kausnya. Derak pintu terbuka dan tertutup diakhiri dengan bunyi kunci diputar.


Malam tanpa kata-kata dimulai, semuanya diharap untuk tetap sunyi.


(Karena mencintai Taerae sesungguhnya tak pernah butuh terlalu banyak bicara, benar?)