😷😷
Merasa ada sesuatu yang menempel di dahinya dan hembusan hangat yang dia rasakan di wajah, Juna membuka matanya pelan. Kala yang sedang menempelkan dahinya di dahi Juna sedikit terkejut dan melepas tautan dahi itu.
"Love? Sedang apa?"
"Kamu demam."
"Oh ya?" Juna bangkit terduduk kemudian menyentuh dahinya dengan tangan.
"Anget kan?"
"Iya sedikit."
"Kamu diem, aku mau ke bawah dulu minta tolong bi kum beliin kamu obat sama kompresan tempel."
Juna mengangguk dan duduk diam. Pantas saja tadi saat bangun subuh bersama Kala mendengar Heera yang menangis, kepalanya sedikit berputar. Ternyata dia demam.
Tidak lama Kala kembali, dengan segelas air hangat di tangannya. "Minum dulu."
Juna menerimanya dengan baik. Air di gelas itu diminum hingga tandas.
Kala menaruh gelas kosong itu di nakas. Kemudian fokus kembali kepada suami besarnya ini, tangannya memberi usapan lembut di wajah yang menghangat itu. "Nanti makannya tunggu mama ya, tadi aku titip bubur, untung aku titip bubur pas banget."
Juna mengangguk pelan, "Terimakasih sayang."
"Mau mandi air anget? Pusing engga kepalanya?"
"Iya, saya merasa seperti berputar-putar."
"Kasiannya suami aku." Kala bawa tubuh hangat itu ke dekapannya, memberi usapan usapan pelan yang sangat nyaman.
"Ga usah mandi aja ya."
"Mandi saja, dengan air hangat sepertinya tidak apa-apa. Badan saya juga belum terlalu panas, badan saya merasa tidak enak jika tidak mandi."
"Ya udah, bentar aku isi dulu bath upnya, kalo pake shower takut kamu lemes aku ga bisa nopangnya." Kala terkekeh, membayangkan kalau Juna adalah dia yang senang digendong.
"Oke love."
Kala beranjak ke kamar mandi, mengisi bath up dan menyiapkan bathrobe untuk mereka nanti. Kembali ke kasur membawa Juna dalam gandengannya.
Membuka baju keduanya kemudian masuk ke dalam bath up yang sudah hampir penuh dengan air hangat yang berbusa itu. Kalau biasanya Juna yang mandikan Kala, sekarang Kala yang mandikan Juna. Dan tentu Juna menikmati sentuhan lembut tangan Kala di tubuhnya. Wajahnya dibawa ke bahu Kala dan menempelkan dahinya di sana.
"Pusing?"
"Sedikit."
Kala menangkup wajah lesu itu, kemudian mengecup dahinya. "Pain hush hush."
Juna terkekeh, mendengar mantra yang selalu Kala berikan jika dia merasakan sakit. Kalanya itu, sungguh sangat berharga.
Kala mempercepat gerakannya untuk memandikan dirinya dan Juna, membilas dan membawa lagi ke kasur untuk menyuruhnya duduk selagi Kala mengambil baju di lemari. Kala tidak punya wardrobe dia bukan penggemar fashion seperti suaminya, dia hanya punya satu lemari yang isinya hoodie atau kaos, ya begitu.
Baju terpasang, Juna dibaringkan lagi, diselimuti agar hangat. "Tunggu, jangan tidur, aku ke bawah dulu kayaknya mama udah dateng."
"Baik love."
Tidak lama Kala kembali dengan nampan berisi dua mangkuk bubur dan air di tangannya. Kala mengambil duduk di sebelah Juna, bersiap untuk menyuapi.
"Heera masih tidur di stoler, anak kamu itu suka banget tidur, aku ga ngerti pengaruh bayi atau emang demen aja tidur." Katanya sambil mulai menyuapkan Juna bubur di sana.
Juna terkekeh dan menerima suapan itu. "Mungkin keduanya."
"Anak kita banget demen tidur." Tidak lupa Kala juga menyuapkan bubur untuk dirinya sendiri.
"Yes she is, love. Anak cantiknya ala cantik."
"Ish apalah kamu ini dangdut."
Juna tersenyum saja, lanjut sibuk menerima suapan bubur hangat itu dari Kalanya.
Sekian waktu mereka sibuk makan sambil sesekali berbincang, akhirnya dua mangkuk itu kosong. Kala bawa turun ke dapur untuk di taruh di washtafel. Tidak lupa membawa obat dan kompres demam yang sudah dibelikan.
Sebelum naik dia juga memboyong Heera yang sudah terbangun dipangkuan mamanya.
"Dia terbangun sepertinya lapar. Mama sudah tidak pegang stok susunya." Mama Sanny bersuara saat Kala mendekat.
"Sini nen di ala aja."
"Kamu tidak repot sambil mengurus juna?"
"Aman ma, anak mama ini sekarang bisa multitasking."
Mama Sanny tersenyum, memberikan Heera ke Kala, tangannya juga mengusap sisian kepala kala. "Anak bungsu mama sudah besar."
"Masa kecil terus."
"Kamu ini senang sekali menjawab mama." Sentilan diberikan di dahi.
"Aww! Mama ah."
"Sudah sana, berikan itu obat pada suamimu."
Kala bergumam, beranjak menaiki tangga untuk kembali ke kamar dengan Heera di pangkuannya.
Suara pintu terbuka membuat Juna yang sedang terpejam membuka mata. Di sana Kala membawa plastik ditangannya juga Heera.
"Sudah bangun."
"Iya daddy~ haus nih aku mau nen~" Katanya dengan nada dibuat buat.
Juna terkekeh melihat Heera yang tersenyum seolah mengiyakan perkataan Alanya.
"Ini minum obat dulu juna."
Juna menerima obat dan gelasnya, meminum dengan benar. Dengan Kala yang memasangkan kompresan tempel di dahinya menggunakan satu tangan, karena tangan satunya menyangga Heera. Hebat juga Ala kita ini.
"Nah sekarang tidur lagi. Sini aku peluk bareng heera yang udah ga sabar nen. Iya? Ga sabar nen sama ala? Iya?" Tanyanya ke bayi cantik digendongannya yang tersenyum membalas.
Kala memposisikan diri, sedikit bersandar pada senderan kasur dengan Juna di samping kanannya siap untuk dia dekap. Juga heera yang mulai bergerak gelisah mencari susunya.
"Sabar hei sabar, anak siapa si ga sabaran anak siapa? Anak juna~" Kala mencium hidung kecil anaknya itu.
Kancing bajunya dia buka memposisikan Heera untuk menyusu. "Susu ala enak ya? Hnm hmm tadi ala makan bubur, anget nanti susunya."
"Hhnm~" Heera bergumam.
"Ih jawab aja kamu.
Satu lagi ini suami aku yang lagi demam. Sini aku peluk."
Juna yang sedari tadi fokus melihat interaksi ibu dan anak yang menjadi interaksi favoritnya itu mendekat dan menyandarkan kepalanya di dada Kala. Usapan juga di terima di sana.
Juna selalu suka saat Kala mendekap dan memberinya usapan hangat. Rasanya seperti mengembalikan energi yang hilang. Bukan hanya Kala yang suka dengan pelukan Juna, tapi juga Juna yang suka dengan pelukan Kala. Pelukan paling hangat dan saling menenangkan.
Saat keadaan kantornya sibuk dan berantakan, pulang ke rumah disambut pelukan dan usapan Kala adalah penenang yang terbaik.
Saat dunianya abu abu, berbagai tingkah jail Kala adalah pelangi di hidupnya.
Saat harinya diisi helaan nafas atas tingkah anak buahnya, makanan Kala yang penuh rasa adalah penawarnya.
Saat bising jalanan memenuhi telinganya, nyanyian lullaby Kala adalah sebuah ketenangan.
Seperti saat ini, kepalanya yang terasa pusing dan berat mulai rileks mendengar Kala yang mulai bergumam pelan memainkan melody yang masuk dengan sopan ke telinganya.
Rasanya Kala itu obat penawarnya Juna. Sudah Juna katakan bukan dia adalah suami dan ayah yang beruntung.