nathan dan segala aksinya


Bukan ini yang Rachel harapkan. Bukan Nathan yang tiba-tiba datang ke kosannya pukul 11 malam usai memburu-burui Diego untuk mengantarnya kemari. Rachel tak mengerti dengan jalan pikiran Nathan. Tindakannya membuat ia terkadang merasa takut. Takut bahwa ini bagian dari pembalasan dendammya. Naren sampai heran dengan gaya berpacaran mereka.


"Lo ngapain?" Rachel bertanya seiring Nathan meletakkan ranselnya di sofa kemudian mendudukan dirinya di sana.


"Nginep," jawab Nathan.


Rachel tak bisa mengontrol ekspresi tak habis pikirnya. Menginap? Disaat permintaan maafnya saja belum diterima sejak tiga jam yang lalu?


"Than. . ." Rachel nyaris emosi. "Jangan bercanda. Lo ngapain malem-malem di sini? Gerbang bentar lagi ditutup."


"Mau nginep." Ulang Nathan mendongak. Menatap Rachel yang berdiri di depannya. "Tidur sama Naren juga enggak masalah. Atau tidur sofa," katanya sambil melirik Naren yang terduduk di atas kasur sekilas.


Rachel merotasikan matanya. "Naren bayar di sini. Gue bayar lebih buat tinggal berdua."


"Yaudah gue tambahin biayanya buat malem ini," sahut Nathan enteng.


Helaan napas berat Rachel keluarkan sebelum menoleh ke adeknya. "Beli susu atau mie gelas di warung bawah dulu sana. Nanti gue chat kalo lo udah boleh masuk." Dan Naren menurut. Segera beranjak keluar dari kamar usai mengambil uang receh di atas kulkas.


Menyisakan Rachel dengan orang gila di kamarnya. Nathan nampak tak ada beban (seperti biasa), tapi Rachel kepalang pusing. Nathan tak memaafkannya tapi mendadak menghampirinya begini.


"Than, kalo lo pengen bikin gue kesel mending pulang." Suruh Rachel.


Alih-alih marah atau segera pergi, Nathan justru menatapnya mendongak. "Hobi lo selain nyepelein gue tuh ngusir ya? Udah beberapa kali loh lo ngusir gue."


"Ya lo enggak jelas, anjing."


Rachel tak tahu ini umpatan ke berapa selama mereka bertengkar. Tapi mulutnya sama sekali tak mem-filter nama-nama binatang seperti yang Nathan perintahkan kemarin-kemarin bahwa ia tak suka.


"Lo aja enggak—"


"Yaudah gue pulang," kata Nathan akhirnya. Bangkit dari sofa kemudian mengambil tasnya sebelum menggendong di bahu.


Rachel ingin memukul dirinya sendiri. Sebab kini justru merasa panik Nathan marah. Sialan, ia bahkan tak bisa tegas atas keinginannya. Yang ia lakukan sekarang justru berdiri menghalangi Nathan.


"Apa? Salah lagi?" sindir Nathan. "Emang lo mah bener mulu ya, Chel."


"Bukan. . ." katanya pelan. "Maksud gue bukan nyuruh lo pulang."


Nathan menyerengit bingung. Alisnya naik sebelah. "Kata lo tadi mending pulang? Emang ada makna konotasinya dari kalimat lo tadi?"


Lagi-lagi Rachel menghembuskan napas. Ia hanya merasa dipermainkan. Nathan tak membalas pesannya, mendadak datang dan ingin menginap seolah mereka tak memiliki masalah, kemudian kini kembali kesal dan ingin pulang (meskipun itu atas suruhannya), Rachel ingin semuanya jelas. Mereka berbaikkan karena Nathan memaafkannya. Itu yang Rachel mau.


"Sorry." Rachel berkata setelah berperang dengan egonya. "Udah banyak loh gue minta maaf hari ini."


"Gue enggak nyuruh lo minta maaf berkali-kali," kata Nathan.


Dan sialannya ia benar. Maka Rachel kembali merotasikn matanya. "Ya, tapi gue minta maaf." Namun Nathan sama sekali tak bereaksi. Menatapnya datar. "Dimaafin enggak?"


"Kalo gue bilang enggak?"


Benar, bagaimana kalau Nathan berkata bahwa ia tak memaafkannya? Pasti Rachel akan memaki-maki pemuda itu.


"Kita putus," jawabnya implusif.


Sebuah dengusan lolos dari bibir Nathan. Pun laki-laki itu yang bersilang dada sambil menatapnya remeh. "Emang dasarnya lo aja mau putus kan?"


"Lo bisa enggak langsung maafin aja?" kesal Rachel. Tolonglah jangan menambah kesalahannya. "Gue minta maaf biar dimaafin. Kalo lo enggak maafin gue, ngapain kita pacaran? Lo mau pacaran sama orang yang kesalahannya aja enggak bisa lo maafin?"


Nathan mengangguk. "Gue bisa kayak gitu."


"Lo stress." Rachel berdecak kesal. "Than, serius. Kalo lo enggak maafin gue, lo pulang aja, kita putus. Gue nerima lo tidur sini cuma kalo lo maafin gue."


Nathan kembali mendengus tak habis pikir. Dalam hati mengumpat, gadis ini benar-benar—menguras habis semua bentuk emosi yang Nathan punya hingga ia terkadang tak tahu harus bereaksi seperti apa selain tertawa. Tertawa bahagia, tertawa sarkas, tertawa miris. Rachel selalu membuatnya tak punya opsi selain menertawai dirinya sendiri sebab terlalu jatuh.


"Gue maafin," jawab Nathan setelahnya. "I do forgive you, but it doesn't make your mistake right." Dan Rachel mengangguk paham. Ia sebenarnya merasa bersalah, tapi ia selalu memberi makan keegoisannya yang semakin membesar dan membuatnya terlihat paling benar sendiri. "Gue maafin lo karena gue tau lo pasti mikirin banyak hal sebelum minta maaf. I appreciate that, makasih udah minta maaf."


Lagi-lagi Rachel mengangguk. Semakin digerogoti rasa bersalah karena Nathan mengucapkan terima kasih atas permintaan maafnya.


"Soal beasiswa itu, kita pikirin nanti." Jeda, "Gue berharap beasiswa itu dikasih ke orang yang lebih siap dari pada lo. Lo masih—"


"Maksud lo, lo doain gue gagal?" Delik Rachel tak percaya. Sialan, baru saja ia terharu. Kini sudah disulut lagi emosinya.


"Lo masih semester 4, kuliah lo tanggung 2 tahun lagi."


"Tapi di sana gue juga kuliah, pindah, bukan putus kuliah," belanya.


"Tapi di sana enggak ada gue," sahut Nathan cepat. "Gimana Naren di sini? Gimana gue emang lo enggak mikirin kesitu apa? Gimana bengkel lo? Diego mau part timedimana buat bayar kosan?"


Benar. Nathan tidak tahu masalahnya. Haruskah Rachel cerita sekarang? Tapi bukankah ia baru saja mendapati maaf?


"Enggak gampang tinggal di negara orang," katanya. Dari seluruh isi pikirannya, Rachel hanya mengangguk sebab mendadak sebuah beban baru hinggap di kepalanya. "Yaudah gue mau pulang," kata Nathan.


"Loh?" Rachel merasa panik. "Kan gue udah maafin, kok pulang?"


Nathan tersenyum sebelum tangan kirinya mengusap kepala Rachel (seperti kebiasaannya). "Gue becanda. Bentar lagi Rayan jemput abis itu dia mau tidur rumah gue."


Mendapati anggukan dari pacarnya, Nathan lantas berjalan menuju pintu, memakai kedua sepatunya satu persatu. Memunggungi Rachel yang bergerak gelisah memainkan ujung kukunya di belakang.


"Pulang ya?" Nathan melambaikan sebelah tangannya ketika ia berbalik menatap Rachel. Melangkah hingga tiba di depan pintu dan hendak membukanya.


"Nathan." Panggil Rachel menghentikan seluruh pergerakan Nathan. Yang dipanggil menoleh, kemudian menaikkan alisnya seolah bertanya 'kenapa'. "Gue—" ia merasa mual. Tak siap kalau-kalau harus kembali bertengkar setelah baru saja mendapati maaf.


"Kenapa?" Nathan kembali menutup pintu yang sudah terbuka. Kemudian menegakkan posisi berdirinya untuk menghadap Rachel.


"Naren. . ."


Nathan maju sebanyak empat langkah sampai ia kembali tiba di hadapan Rachel. Menunggu gadis itu berbicara. "Kenapa?" tanyanya lagi.


Namun gadis itu justru menggeleng. "Besok aja," katanya. "Besok kita ngomong."


"Chel, seka—" Nathan menghentikan kalimatnya kala ponselnya berdering. Segera ia merogoh saku jaket dan menemukan nama Rayan di layar ponsel. Dengan sekali gerakan, Nathan mengangkatnya.


"Gua udah di—"


"Lo tidur tempat Diego dulu, Yan. Gue nginep di tempat Rachel. Sorry yak." Lantas mematikan ponselnya dan kembali memasukkan ke saku jaket. Menatap Rachel lagi. "Rayan udah pergi," katanya.


Dan Rachel semakin mual.


[]