seunghan duduk di pinggir lapangan begitu wonbin tiba. ada kantong plastik warna putih yang dipegang wonbin, isinya barang belanjaan yang tadi dia beli di supermarket dekat lapangan. senyum tipis sempat tercetak di bibirnya waktu beberapa teman satu tim seunghan menyapa dan pamit buat pulang duluan. dengan begitu, suasana lapangan berangsur-angsur jadi sepi. cuma ada dua sampai empat orang yang masing-masing punya kegiatan sendiri. ada yang istirahat—seunghan—dan, ada juga yang masih berjuang memasukan bola ke dalam ring walau ujung-ujungnya selalu gagal.


bandul waktu berada di angka setengah delapan malam. jam-jam di mana orang-orang biasanya menghabiskan waktu mereka buat merenung sehabis digauli rutinitas menjemukan; kewajiban yang malas dilakukan tapi harus dilakukan. wonbin salah satunya, dan sebagai gantinya dia datang kemari dengan adrenalin yang memuncak (perihal perasaannya yang masih berlarian).


dia ikut duduk di sebelah seunghan, memperhatikan laki-laki itu sedang buka baju karena efek kepanasan. kulit putih pucatnya kelihatan mengkilat karena keringat yang membasahi tubuhnya. wonbin tercenung selama beberapa saat.


“beli apa aja?” suara seunghan buat konsentrasi wonbin kembali menapak. di dalam kantong plastik itu ada snack dan dua minuman dingin. “punya gua yang mana?”


“yang mana aja boleh.” wonbin menjawab sambil membuka minumannya.


“termasuk lo?”


“hah?”


“lo maksud gua.” seunghan melirik wonbin sambil membuka tutup botol minumannya, “boleh gua ambil juga hatinya?”


yang begini yang buat wonbin nggak pernah paham kenapa jantungnya bisa gampang bereaksi dengan semacam gombalan sampah dari seunghan. padahal nggak ada yang terlalu spesial dan menakjubkan dari rentetan kata yang menyembur.


“andre taulany.” tukasnya kemudian.


seunghan mendengus. “lu gitu mulu padahal gua serius.”


dalam sekuens itu, wonbin mempersiapkan banyak frasa buat dilempar. perihal tujuannya datang ke rumah seunghan yang dia kira pemiliknya ada di rumah. perihal bagaimana kubikel antara dia dan seunghan secara drastis berubah haluannya. semua orang menyadarinya, termasuk wonbin sendiri. dia tahu setelah ini semuanya nggak akan sama lagi. bagaimana pandangannya kepada seunghan, juga soal interpretasi laki-laki ini untuknya akan berubah.


kalau bisa diterjemahkan secara singkat, mereka berdua cuma dua manusia tolol yang sama-sama tahu kalau sebenarnya cinta itu sudah lama menaungi perasaan mereka masing-masing.


cinta punya banyak variabel. dan cinta yang mereka punya bukan sebatas cinta soal teman atau keluarga. cuma wonbin berkali-kali bertafakur; jatuh cinta dengan teman yang selalu berada di dekat kita dan mengawani kita dalam suasana sedih atau senang justru buat kita berada dalam fase sulit menerima dan bingung harus melakukan apa. sebab semuanya terjadi secara tiba-tiba. nggak ada rambu-rambu yang memberitahu bahwa besok dia akan jatuh cinta. nggak ada pengumuman kalau besok hong seunghan akan bilang, “gua suka sama lu, jatuh cinta lah istilahnya. mau gak jadi pacar gua?” di tengah-tengah sesaknya asap kendaraan yang menyeruak di ibu kota.


wonbin bukan seseorang yang mampu mendiktekan isi hatinya secara verbal. dia nggak terlalu vokal soal perasaannya. makanya, yang seunghan dapatkan masih berupa alegori. tapi konfrontasi ketika jatuh cinta dengan seseorang yang sudah sangat baik kamu kenali justru lebih banyak membawa rasa nyaman. dan wonbin nggak berkelit soal itu. walau persona seunghan nggak jauh dari kata sengak dan kelewat tengil, yang mana kadang-kadang suka pancing emosi orang lain, tapi untuk wonbin segala sesuatu yang seunghan agihkan padanya buat dia merasa aman.


“lo belum ngasi gua jawaban soal yang kemarin.”


dan sialnya yang punya kekhawatiran ketika jatuh cinta dengan teman sendiri cuma wonbin. mungkin begini juga yang dialami eunseok sampai jung sungchan harus berbalik ke belakang dan nggak membicarakan soal hubungan mencintai lebih dari sebatas teman. tapi wonbin juga mau merasakannya. mau memberi makan perasaannya yang sedang kelaparan; jatuh cinta sampai rasanya mau mampus.


“lo kenapa, sih, bisa suka sama gue? emang gak ada yang lain?” teriakan frustrasi di tengah lapangan, seseorang gagal lagi memasukan bola ke dalam ring. wajah laki-laki itu dipenuhi kekesalan. wonbin menyaksikannya dalam diam sambil menunggu jawaban.


seunghan merubah arah pandangnya. menit yang lalu dia berpikir bahwa eunseok yang duduk di tengah lapangan dan melempar bola basket itu dengan keras adalah sejenis penggambaran seseorang yang sedang gamang. seunghan terus memperhatikannya. kini, tatapannya justru secara menyeluruh jatuh ke wonbin, mengabaikan eunseok di sana. “gak ada alasannya.”


sebab bagi seunghan, jatuh cinta itu siklusnya tiba-tiba. nggak ketebak dan sulit buat dijelaskan karena yang punya peran paling penting adalah perasaan. jatuh cinta itu seperti bagaimana dia membiarkan perasaannya bicara secara terus-menerus tanpa jeda.


“tapi kalau lo emang pengen tau, ya, karena orangnya lo, kak.”


wonbin balas tatapan seunghan; tatapan yang belum pernah dia lihat bisa terbias di kedua mata tajam itu. ada keseriusan, ketulusan, dan keyakinan yang buat wonbin bergidik; buat tebing hatinya bergetar; buat jantungnya berdetak keras; buat mesin otaknya mati.


“gua gak bakal maksa kalau lo emang gak mau.” seunghan meneguk minumannya sekali lagi, “but give me the answer, please? whatever it is, i’ll accept it”.


permohonan menggantung di akhir kalimatnya. dari kejauhan terdengar suara bel truk tronton yang menggema di tengah jalan, mengharuskan wonbin untuk melabuhkan pandang ke arah sana—cara lain menghindari seunghan dan tatapannya yang buat dia merasa lemah.


“gue…” wonbin melirik seunghan sebentar sebelum menenggelamkan wajahnya di tumpukan tangan. setelah itu dia berkata pelan, “gue bingung tau, han. lo serius atau cuma bercanda aja? lo kayak gini gak ke gue aja, kan?


“berapa kali gua bilang kalau gua serius? dan gua begini cuma ke lo aja, kak.” nada seunghan sedikit meninggi, kemudian dia menghela napas. “gini aja deh.”


wonbin mengangkat kepala, “apa?”


seunghan berdiri, berjalan ke tengah lapangan dan mengambil bola. “gua bakalan coba masukin bolanya ke ring. kalau berhasil, lo jadi cowo gua. kalau gak masuk, gua bakalan anggep itu sebagai penolakan.”


walau membingungkan, wonbin tetap ikut masuk ke tengah lapangan dan berdiri di samping seunghan. jantungnya berdebar. dia ingin merasakan sintesa jatuh cinta juga, jadi dia berharap bolanya bisa masuk. seenggaknya kemampuan bicaranya yang pas-pasan bisa dibantu. tapi bola yang melambung terlalu tinggi sampai melewati batas dan malah membentur papan.


keduanya mematung.


kemudian seunghan berteriak dengan putus asa. “ALAH BANGSAT!!!”


bolanya nggak masuk ke dalam ring. semesta nggak mengizinkan dia buat jatuh cinta bersama wonbin. atau mungkin bukan semesta yang harus beri izin, tapi wonbin. karena begitu seunghan ambil dua langkah ketika mau ke tempat di mana mereka berdua sempat duduk tadi buat ambil tasnya yang terjelempah di sana, wonbin menahannya. tangannya ditarik, seunghan otomatis mundur satu langkah.


“mau kemana?” tanya wonbin.


ekspresinya menyedihkan. seunghan menjawab pelan. “pulang. sedih banget gua habis ditolak.”


“sama siapa?”


“lo.”


“gue belum bilang apa-apa.”


“gimana, sih, gua ikutan bingung jadi ini gimana gua gak paham.” seunghan mengacak rambutnya frustrasi. jatuh cinta ternyata bisa membawa kita dalam situasi yang amat sangat menyusahkan seperti ini.


“han—“


“tolong gua butuh yang jelas-jelas aja, jangan gantung gitu.”


“ya makanya dengerin gue dulu lo stop ngomong.” seunghan seketika tutup mulut, nggak bersuara lagi. “kalau lo nanya gimana perasaan gue ke lo, jawabannya sama. gue suka—“


“YANG BENER?”


wonbin mendelik, “diem dulu, anjing!”


“maaf.” gumam seunghan pelan.


“iya, gue suka sama lo. romantically? yes, romantically sama kayak lo. gue nyaman banget sama lo meskipun kelakuan lo kayak anjing. gue cuma gak nyangka dan gak percaya kalau lo suka sama gue dan ngajak pacaran soalnya lo tiap hari bercanda mulu terus suka nebar omongan manis ke semua orang jadinya gue ragu…”


seunghan nggak bisa nahan buat nggak ngomong, tapi wonbin langsung nutup mulutnya.


“makanya gue minta tolong sama sohee buat manas-manasin lo biar tau lo cemburu apa gak tapi ternyata kita gak satu jalan jadinya rada gagal sih rencana gue yang itu. sohee nyuruh gue buat ngaku aja, yakin kalau lo gak mungkin main-main sama gue.” perlahan wonbin menyingkirkan tangannya dari mulut seunghan. “gue gak tau gimana cara ngomongnya. but really, i do—


“ya?”


debar jantungnya makin kritis, makin nggak masuk akal temponya. seakan mau meledak sekarang juga. wonbin mendekat—lebih dekat lagi dengan seunghan, dan setelah itu dia menarik wajah laki-laki itu untuknya kemudian mengecup bibirnya. kepalanya jatuh di bahu telanjang seunghan, menyembunyikan wajahnya yang memerah. malu dan terlalu bersemangat.


sedangkan seunghan justru malah diam seperti orang tolol. terlalu terkejut sampai-sampai akal sehatnya terbelah jadi puing-puing. seperti jiwanya dilepas secara paksa dan dia sekarang cuma sebatas daksa nggak berpenghuni.


wonbin menciumnya.


wonbin menciumnya.


wonbin menciumnya.


park wonbin. menciumnya.


bibir wonbin menyentuh bibirnya.


seunghan terus merapalkannya.


sesaat setelah pikirannya membumi, seunghan mengangkat wajah wonbin. dan kali ini giliran dia yang menyapu bersih bibir merah muda itu. mereka ciuman di tengah lapangan, di bawah langit malam bersama dengan suara-suara kendaraan yang melaung di jalan raya.


“jadi status gua udah naik pangkat?”


wonbin tertawa pelan, “apa sih bahasa lo.”


“pacaran maksudnya.” seunghan nyengir.


wonbin menangkup pipi tirus seunghan dan mengangguk. senyumannya melebar.


sekon berikutnya seunghan memeluk wonbin dengan sangat keras dan erat sampai wonbin mundur ke belakang.


“ih badan lo lengket tau.” protes wonbin. “mandi dulu kalau mau peluk gue.”


“mandi bareng mau gak?”


“pake otak kalau mau ngomong.”


waktu mau menuju parkiran, seunghan berlari dan berteriak bangga. seolah mau meneriaki semesta bahwa sekarang park wonbin sudah jadi miliknya.