teddy bear: bandung

by pawisonous


mara kembali menatap kearah box yang biru bawa sejak di apartemen. sebenarnya ia sudah bisa mengira kalau itu oleh-oleh untuk orangtua mara, karena jika mara pergi ke rumah orangtua biru ia juga akan membawa buah tangan. namun ia tidak bisa menebak apa yang ada didalam box itu. mara harap itu bukan sesuatu yang mahal karena ia tahu ibunya akan sungkan menerimanya.


“mara”


mara mengalihkan pandangannya dari box, “iya pak biw?”


“kamu mau yang original atau pake topping?”


oh benar, mereka sedang memesan donat untuk di mobil karena perjalanan dari terminal ke rumah akan menghabiskan hampir satu jam lamanya. rumah mara, terletak di utara kota bandung dimana udara sangat sejuk dan embun masih terlihat di pagi hari.


“ingin yang pake strawberry ituu”


“okay”


mara melihat jam, sudah jam 8 malam artinya mereka akan tiba sekitar pukul 9 malam.


“pak biw mau makan berat dulu?”


“mara mau makan?”


“ih aku kan nanya pak biw ko nanya balikkk”


“mara, kamu mau makan dulu? kamu lapar? kalo iya kita cari makan sekarang”


engga pak biwww”


“serius?”


mara mengangguk hingga rambutnya ikut bergerak.


“pak biw gimana? mau makan dulu?”


“engga, justru saya ingin cepet sampai ke rumah. kalau kemaleman ga enak sama orangtua kamu, mara”


mara merasakan pipinya hangat. mungkin ini hal sepele, tapi biru yang memperhatikan segalanya ini membuat mara berdebar.



























karena sudah malam, perjalanan menggunakan mobil yang biasanya menghabiskan hingga satu jam perjalanan kini bisa ditempuh hanya dengan 30 menit. keduanya kini menurunkan barang yang tidak banyak itu dari bagasi, dan berdiri di depan pagar rumah mara.


mara yang sudah memperhatikan biru sejak mereka tiba di bandung, bisa menyimpulkan bahwa biru gugup. dilihatnya pria yang lebih tinggi darinya itu sedang menggigit bibir bawahnya, menunggu mara menekan bel.


“pak biw?”


“iya mara?”


“tenang aja, orangtua aku baik ko”, ucap mara.


namun daripada kalimat penenang singkat itu, biru merasa lebih rileks ketika mara menyandarkan kepalanya pada bahu biru sedetik. menggesturkan bahwa tidak ada yang perlu di khawatirkan.


biru akhirnya bisa merasakan bahunya turun. biru masih gugup namun ia tahu ada mara disisinya yang akan menemaninya. bagaimanapun juga, biru ingin memberikan kesan pertama yang baik kepada orangtua dari seseorang yang ia cintai.


walaupun lucunya orang yang ia cinta itu belum tahu perasaannya.


mara akhirnya menekan bel dengan sikunya, tak lama pintu pun terbuka menampilkan sosok wanita di usia 40an menggunakan piyama tidur berwarna ungu dan kardigan yang terlihat hangat dan lembut.


orangtua mara sudah menunggu kedatangan putra nya. senyuman lebar menyapa keduanya saat ibu itu berjalan mendekati pagar.


“adek, hayu masuk. bapa udah nungguin, aa nya juga hayu. diluar mah tiris”


semua kegelisahan biru seakan tidak berarti apa-apa ketika ia melihat reaksi hangat dari ibu mara. begitupun kalimat perkenalan yang sudah biru hafal di kereta, mungkin ia tidak perlu setegang itu. sebaliknya, ia justru ingin bertanya pada mara apa itu ‘aa’ dan ‘tiris’.


ketika memasuki rumah mara, ia membatasi dirinya dari melihat sekitar karena ditakutkan tidak sopan. tapi belum sempat ia melihat isian rumah mara, sosok tinggi besar sudah menarik perhatiannya dengan duduk bersilang kaki di atas karpet walaupun ada sofa besar yang kosong di belakangnya.


“halo pak”, biru takut setengah mati jadi ia membiarkan insting bertahan hidupnya yang mengambil alih.


“papa galak gitu mukanyaa, kasian jadi takutt”


“adek mah kaya gatau bapa aja, bapa mah resep nyingsieunan budak batur”


mara tertawa begitupun ibu. biru yang duduk dengan lutut terlipat berusaha menahan keringat dingin karena ayah mara belum mengalihkan pandangannya barang sedetik.


“pah! tos ah watir budak batur”


setelah perkataan dari ibu mara yang biru juga tidak mengerti artinya apa, akhirnya ayah mara menarik nafas panjang dan tersenyum.


“maaf, kebiasaan lama”, ayah mara tertawa, biru berusaha membuat tawanya tidak canggung walaupun ia takut setengah mati.


“biru enya? kasep kieu budakna”


“saur ibu ge kasep, da bapa mah teu percaya”


“ieu mah ciga nu di poster kamar si adek, saha eta ngaranna? tehyung?”


“taehyung pah, taehyunggg”, sahut mara.


“enya eta”


biru really have no idea what they are talking about. he was cautious all the time, reading the room just by their expressions and seems like everything going well?


“biru, ai bumi dimana?”


biru menangis dalam hati, bumi dimana? bumi ada di tata surya? jawaban apa yang harus ia berikan? biru menatap mara yang ternyata sedang menatapnya juga. mara seketika teringat sesuatu.


“pah, kak biru ga ngerti bahasa sunda. pake indo aja yaa”


kak biru?


kak?


suddenly?!


belum sempat biru memproses ‘kak’ dari mara, ayah mara sudah mengajaknya bicara lagi.


“waduh maaf, dari tadi pake bahasa sunda kamu ga ngerti ya?”


“ga apa-apa pa haha”


“yaudah lanjut pake bahasa sunda ya?”


“eh jangan pa hehe”


ayah mara terlihat puas. “biru, rumah dimana?”


“saya asli jakarta pa, rumah di pondok indah tapi sekarang tinggal di apartemen sama— yang sama kaya mara”


“sudah bekerja?”


“sudah pa”


“orangtua apa kabar?”


biru agak terkejut mendengar pertanyaan tidak diduga itu, “baik, pa”


“hubungan sama orangtua baik juga?”


“baik pa”, biru menjawab dengan senyum hangat.


“udah ah pa wawancaranya, kasian anaknya capek. dek, aa nya bawa ke atas gih”


mara meregangkan tubuh lalu berdiri, “ayo kak biru”


mendengar ‘kak’ sekali lagi dari mulut mara membuat biru mengerutkan wajahnya sambil tersenyum. mara menjawab dengan kekehan tanpa suara.


setelah berpamitan, akhirnya keduanya pergi keatas dimana kamar mara berada. mara yang melihat kasur lamanya langsung melemparkan tubuhnya keatas busa empuk itu.


“kak biw”, mara menepuk space kosong disampingnya. biru yang sama kelelahan langsung membaringkan tubuhnya disamping mara.


“tiba-tiba panggil saya ‘kak’ jadi ingat waktu pertama ketemu. kenapa tiba-tiba ganti lagi?”


mara menoleh ke samping, matanya bertemu dengan milik biru. “sebenernya dari lama aku ingin ganti panggil ‘kak’, tapi ga ada alesan. terus tadi liat ibu panggil kak biru ‘aa’, kayanya memang lebih cocok ‘kak’. kak biw ga tua juga”


“terus kenapa waktu itu panggil saya ‘pak’ hmm?”, biru tertawa. gigi taring nya terlihat jelas dengan jarak sedekat ini.


“soalnya kak biw kelakuannya kaya bapak-bapak, tau banyak jokes bapak-bapak juga!”


“ahh haha itu soalnya di kantor isinya orangtua semua, jadi kayanya saya kebawa-bawa”


“makanya sering-sering main sama mara, biar vibes nya muda terus”


“oke”


“oke”


“mara?”


“uhm?”


“kamu boleh panggil saya pakai nama kalau mau”


mara terlihat ragu untuk sejenak, “biru?”


“iya”, jawab biru dengan senyum.


























pagi pun tiba, mara terbangun oleh suara tertawa terbahak ayahnya dari teras rumah. mara menoleh kesamping hanya untuk melihat space kosong yang ditinggalkan biru, segera bangun dan mencari yang lebih tua. sebenarnya ia sudah mengira bahwa biru sedang bersama ayah di teras, tapi mara perlu memastikan.


“siapa yang ajari kamu main catur?”


“kalo itu, kebetulan semua orang rumah main pa. tanpa diajari pun saya jadi tau cara mainnya”


“hmm iya iya, memang bagus begitu. kalau diminta pelajari justru biasanya tak masuk ya”


“haha iya”


box besar yang biru bawa dari jakarta ternyata adalah papan catur. mara tidak ingat memberitahu biru bahwa ayahnya suka main catur atau fakta bahwa ayahnya pemegang medali emas untuk permainan catur tingkat provinsi tapi mara yakin biru memiliki caranya sendiri untuk memberikan kesan yang baik kepada orangtuanya.


dan sepertinya biru berhasil, ayahnya menyukai biru.


“pah mau dibikinin kopi ga?”


“sok de bikinin buat si aa juga. a minum kopi kan?”


biru menoleh kearah mara, mata keduanya bertemu dan seketika hangat menghampiri keduanya.


“iya”, ucap biru hangat.


“oke, mara bikin dulu”, senyum mara.


mara pergi ke dapur dengan langkah santai dan langsung membuat air panas, mengambil dua kopi sachet yang ada di lemari dan satu energen untuknya. suara langkah kaki membuat mara menoleh ke belakang dan menemukan biru sedang menghampirinya,


“hai”


mara tertawa mendengar ‘hai’ canggung dari yang lebih tua dan melihat mara tertawa, biru juga ikut tertawa. selalu seperti itu.


“biru menang gak?”


“kalah”


“kalo urusan catur papah emang juaranya” ujar mara lalu mengusap lembut rambut biru.


jika biru punya ekor, pasti sedang mengibas dengan cepat—oh ia memang punya.


“biru serius mau aku buatin kopi? walaupun ga seenak starbucks?”


“iya mau. kamu sebelumnya kan pernah buatin saya kopi, enak ko”


“okay”


“lagian kopi starbucks ga seenak itu, maksudnya bukan sesuatu yang spesial juga. cuma karena udah biasa beli disitu, store nya deket kantor, deket apartemen, jadi otomatis kesitu kalo mau ngopi”


mara tertawa mendengar penjelasan panjang kali lebar dari biru. “iya biruuuu”


“gitu ya maraaaa”


keduanya terkekeh pelan. mara kembali ke teras untuk memberikan kopi ayahnya dan kembali ke ruang makan untuk menyantap energen nya bersama biru.