jofafa ; jealousy?
WARNING 17+
bocil jangan baca, bahaya!
Mataku terbuka lebar. Layar ponsel menampakkan foto-foto seksi pria yang cukup aku kenal. Jemariku menggerakkan layar, sementara mataku membaca komentar orang-orang. Visual pemotretan itu memang baru saja di rilis. Ada sedikit rasa cemburu melihat banyaknya komentar yang memuja dada bidang sang idola. Aneh rasanya, ada sedikit rasa tidak ikhlas. Namun, ya… bagaimana? Mau tidak mau, toh itu perkerjaan dia.
Aku mendecak, segera menutup aplikasi sosial media supaya aku tidak begitu merasa kesal. Kulihat jam yang terpajang di sudut atas ponsel. Pukul 9.30 dan dia belum juga pulang.
Sedetik kemudian, satu notifikasi muncul.
Sorry, Fa. Aku pulang agak telat.
Membacanya saja membuatku menarik kedua ujung bibirku paksa. Segera ku buka pesannya itu dan membalas.
Oke
Singkat saja, lagian dia tidak akan mempermasalahkannya, bukan? Aku meletakkan ponselku di saku piyama, lalu beranjak menuju ruangan kecil tempat buku-buku di letakkan. Aku hanya ingin membaca, mencoba menghilangkan perasaan tidak enak yang mengganggu pikiran. Lagian, menatap layar ponsel membuat mataku yang sudah pakai kacamata dengan tebal 0.2 senti ini sakit. Aku butuh penghiburan. Setidaknya, sebelum kekasihku itu kembali.
Kupilih satu buku dengan tebal 2.5 senti yang memiliki cover warna biru gelap, lalu merebahkan diriku di beans bag warna biru dengan corak kotak-kotak. Ku pasangkan earphone, menyetel lagu favoritku, baru kubuka novel itu, membacanya.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah fokus dengan novelku. Suara apapun yang terdengar dari luar tidak akan ku dengar. Aku begitu fokus, hingga sejam lamanya aku membaca. Bahkan aku tidak menyadari ada sosok yang sejak tadi menatapku sambil bersila tangan di depan pintu.
Begitu ku baca puncak cerita, sedang seru-serunya, seseorang meniup leherku dari belakang. Aku refleks melempar buku ke depan. Ku cabut earphoneku dari telinga lalu menoleh ke belakang. Pria jahil itu menatapku penuh kemenangan.
“Apaan, sih? Ngagetin aja! Kalau bukunya rusak gimana?”
“Tinggal beli baru, gampang, ‘kan? Lagian asik jailin kamu,” katanya.
Kubuka tanganku lebar-lebar, lalu ku tempelkan hingga dapat ku pegang wajah menyebalkannya itu, “Enak banget ngomongnya! Udah, ah! Gak usah ganggu!” kataku.
Aku berdiri, lalu mengambil buku yang jatuh tadi. Awalnya, aku berniat untuk lanjut membaca lagi, tapi belum sempat aku berbalik, sepasang tangan memelukku dari belakang, tangan itu mengitari leherku.
“Kamu gak mau komen soal foto hasil pemotretan minggu lalu?” tanyanya. Aku melepaskan tangannya lembut, lalu meletakkan buku di rak kembali baru berbalik dan menjawab, “Gak. Kan udah banyak yang komen, fungsinya komenku, apa?”
“Fafa…” Aku berjalan keluar ruangan, Joichiro mengikuti di belakang. Entah ekspresi apa yang sedang ia buat sekarang. Masa bodo, aku malas.
“Fa, minimal kalau aku panggil jawab, dong,” panggilnya lagi. Tanpa menghentikan langkah, aku merespon malas, “Kenapa, sih? Kamu juga baru sampai, mending mandi dulu sana!” kataku.
Langkah kaki Joichiro terhenti. Aku bisa tahu dari suara langkah kakinya yang tiba tiba menghilang. Aku tetap berjalan. Tiba-tiba suara langkah kaki cepat terdengar. Joichiro menepuk pundakku, lalu membalikkan tubuhku agar aku sempurna berhadapan dengannya.
“Mau nemenin aku mandi?”
“Hah?”
Senyumnya berubah menjadi senyum nakal. Sialan, bocah ini kenapa sih? Meski dia lebih tua, entah mengapa rasanya aku seperti berhadapan dengan bocah manja. Dan, sisi itu hanya dia perlihatkan padaku pula…
“Ayolah, Fa.. Kita sudah tidak lama melakukan ‘itu’,” katanya.
“Gak, gak mau! Kamu jangan bikin aku takut, ish!” Aku melepaskan cengkramannya. Kembali berjalan ke arah kamar. Aku hanya menunggunya pulang tadi, niatnya juga aku ingin ngomel. Namun, setelah semua ini, aku tidak punya mood untuk marah-marah.
Joichiro terus mengikutiku, hingga tiba di kamar. Aku segera cuci kaki dan beranjak ke kasur.
“Sudah, mandi sana! Aku gak terima kalau kamu belum mandi!”
“Temenin…”
“AKU UDAH MANDI YA!”
“Fafa… ayolah…”
“Gak! Mandi sendiri, sana!”
Pria itu terdiam, ia menunduk, lalu segera mengambil handuk dan masuk kedalam kamar mandi.
Aku membuka ponsel. Tentu aku belum berniat tidur sekarang. Ajakannya sedikit membuatku malu. Apalagi setelah melihat pemotretannya. Tidak, bahkan aku sempat ingin marah hanya karena dia mendapatkan pekerjaan seperti itu.
Sialan, harusnya aku senang ketika fans lain hanya dapat melihat sebagian dari keseksian nya itu, sementara aku mendapatkan segalanya, darinya. bahkan sisi paling manisnya.
Kembali ku pandang foto itu. Foto dengan suasana begitu mengundang hasrat. Dada dan perutnya nampak jelas, terlihat empuk untuk di tiduri. Tangan kekarnya juga menambahkan hasrat untuk menggenggamnya.
Rasanya aku malu.
Hingga tanpa kusadari, pria itu telah selesai mandi dan mengintip kegiatanku.
“Fa, kenapa harus repot repot liat di depan hp kalau yang kamu mau ada di depan mata?”
“Hah…” Aku refleks mematikan dan menyembunyikan ponselku.
“Waduh, abis ngapain tuh tadi?” ledeknya. Senyum nakalnya kembali muncul. Ya Tuhan, kenapa aku harus jatuh cinta dengan orang semenyebalkan dia?
“Jo….”
Jo mendekat, belum tuntas ia gunakan pakaian. Hanya ada boxer dan handuk baju putih yang ia kenakan. Rambutnya masih basah. Ia duduk tepat di depanku, menatapku sejenak.
Kesunyian ini menyebalkan, senyum yang ia tampakkan juga menyebalkan. Aku tahu dia sengaja diam disitu, menunggu responku.
“Jo.”
“Kenapa, cintaku?”
Aku beranjak sedikit maju, mencoba memeluknya. Wangi sabun yang ia gunakan masih dapat kucium sempurna. Tanpa kusadari, posisiku sempurna memeluk dalam pangkuannya.
Joichiro balas memelukku, lalu sejenak ia menarikku mundur, kali ini menatap mataku, tatapannya tidak sejahil tadi. Lama-lama kurasakan sebuah dorongan untuk menyentuh bibir kenyalnya yang sedikit merah itu. Sial, dia pakai lipstick kah?
Makin lama kutatap dia, semakin dekat juga wajah kami berdua. Ditempelkannya dahinya pada dahiku, mata kami terasa begitu dekat, aku memejamkan mata. Sedetik kemudian, sebuah benda kenyal menempel di bibirku. Sensasi manis bercampus segar begitu terasa di bibirku.
Lama-lama, sesuatu yang kenyal itu bergerak-gerak mencoba mengajak bibirku ikut bermain, memaksa bibirku untuk terbuka, mengajak lidahku untuk bermain juga. Lama-lama permainan semakin panas. Joichiro tidak memberiku jeda untuk bernafas, sementara tangannya mulai bermain melepas lembar demi lembar kain yang terbalut dalam tubuhku.
Aku mendorong Joichiro menjauh. Nafasku habis, kuminta dia menunggu sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan kegiatan kami, ke tahap yang selanjutnya.
(censored adegan)
end.
MAAF PRIK. DAN MAAFKAN OTAKKU. TADINYA GA NIAT GITU TAPI JADINYA YA GINI 😭😭🤚🏻🤚🏻 padahal mau bikin adegan gemes lucuk, tapi malah jadi hot begini… 😭🤚🏻