Dessert
cw// fiction, romance, implied with kissing, mention of family problem, fluffy, deeptalk, kinda 18+
Sapaan hangat diberikan oleh yang lebih tua ketika pintu hotel yang mereka tempati berhasil dibuka oleh Ziel. Mata Idan mengerling jahil denhan senyumnya yang tidak luntur dari sisi bibirnya. Tangan kanannya membawa tentengan plastik berisi makanan yang dia sebut di kolom chat mereka sebelumnya. Keadaan Ziel justru berbanding terbalik, lelaki yang lebih muda itu terlalu gugup untuk mengeluarkan kata ketika Idan sudah sampai didepannya. Pakaiannya masih sama hanya memakai kaos dalaman milik Idan tapi wajahnya mulai merona ketika pinggangnya ditarik lembut dan diusap dengan pelan.
"Kenapa, Ziel?"
"Hah? Eh... gapapa!"
Posisinya masih didepan pintu yang sudah ditutup, rengkuhannya semakin erat dengan jarak wajah yang lebih tua hanya beberapa sentimeter sampai menyentuh pipi Ziel. Sentuhan yang diiringi usakan hidung pada kulit halus yang lebih muda, membuat Ziel geli sampai tersenyum kecil. Kecupan dalam juga datang pada pipi kanannya, dikecup berkali-kali dengan basah.
"Mas Idan... udah, ayok makan dulu"
"Ini gue lagi makan, Ziel"
Pernyataannya tersirat ledekan tapi kuasa Ziel juga membiarkan pipinya dihabisi oleh ciuman manis lelaki yang lebih tua. Kecupannya turun menuju leher sejenak, beberapa saja tapi terdengar mengecap, membuat nafas Ziel tertahan. Kecupan Idan begitu hangat, lehernya sampai mendongak secara tidak sadar. Ziel pikir dirinya benar akan "ditandai" namun pergerakan bibir itu langsung berpindah lagi menuju bahu yang sebagiannya tidak tertutup kain kaosnya. Idan kecup berkali-kali bahu kanannya membuat Ziel terkekeh geli. Ziel juga bisa mendengar suara tawa kecil dari Idan ditengah kegiataannya yang mencumbu tubuh manis didepannya.
"Mas Idan..."
"Iyaa, sebentar sayang"
Ziel hampir menghentakkan kaki karena begitu salah tingkah. Tapi diurungkan karena kepala yang lebih tua sudah beralih lagi tepat didepannya. Bibirnya dikecup dalam, tidak ada lumatan, hanya kecupan sebagai bentuk kasih sayang yang ternyata bisa dirasakan oleh Ziel. Tangan yang lebih muda meremas kedua bahu didepannya sampai kecupannya terlepas dengan suara yang sangat keras. Ziel jadi malu sendiri.
"Done, kita makan beneran sekarang"
"Udah selesai kan agenda dessertnya?"
"Belum lah, nanti lagi. Gue laper jadi makan dulu, Ziel"
"Emang cowok gatau diuntung, anjing! Emosi gue"
Tanggapan Idan hanya tertawa ringan sambil dirinya bawa badan mungil yang masih direngkuh itu untuk duduk di meja sudut yanh terdapat kursi, tempat untuk mereka menyantap makanannya.
Duduk mereka berdampingan dengan Ziel yang mulai membantu membuka semua bungkus makanan yang mereka bawa. Beberapa nasi dan ayam bumbu khas Bonchon menguar melingkup kamar hotel yang cukup luas. Cemilan manis yang dipadukan dengan mangga, makanan khas Thailand dengan santan yang pekat juga menyambut indra penciuman mereka.
"Lo tadi udah makan nasi seharian?"
"Belom... jangan marah soalnya gue nggak makan nasi aja udah kenyang"
"Tapi sekarang laper lagi kan, Ziel?" ucapnya lembut sambil mengusap pipi Ziel yang sedikit menggembung karena mengunyah ayam didepannya.
Anggukan lucu dengan rambut yang bergoyang menjadi jawaban atas pertanyaan Idan.
Gemas, rambut Ziel naik turun dengan bibir yang maju akibat mengunyah makanannya.
Idan sampai terkekeh kecil tapi Ziel tidak menanggapi, dirinya masih fokus dengan makanannya.
"Makan yang banyak ya, Zielku"
Anggukan lagi, namun sekarang sedikit patah-patah dengan senyuman dan rona merah yang makin terlihat di pipi. Usapan lembut pada pipinya oleh tangan kiri Idan juga masih disana, membuat dadanya hampir tidak bisa menahan gemuruh yang sudah lama tidak Ziel rasakan.
"You're better eat your meals too"
"I did, kalo yang ini berasa kayak buat menuhin perut aja. Kalo yang 'makan beneran' udah tadi"
"Kapan sih?"
"Tadi pas masuk kesini, kan lo
makanan gue"
Ucapan Idan membuat Ziel menolehkan kepalanya sambil menukikkan alis dengan tajam.
"STOP JADI BRENGSEK YA, ZAIDAN!"
Lontaran kalimat yang berhasil membuat Idan mendengus geli.
Tangannya kirinya mengusap rambut Ziel dan tangan satunya mengerjakan tugasnya untuk menyuapkan makanan pada mulutnya sendiri.
"Cepetan dihabisin, katanya tadi dichat sama dosen lo"
"Hmm, udah gue bales kok. Cuma nyariin kemarin kemana, terus ada info juga buat penyuluhan soalnya kan udah mau magang"
"Kapan, sayang?"
"Lo stop manggil gue sayang, perut gue kayak ditonjokin. Om... udah please..."
Idan tertawa lagi.
"Iyaa, udah. Kapan magangnya?"
"Mulai semester depan, nanti ada pembagian dulu di perusahaan mana, ada juga yang bakalan magang di sekolah yang ada matkup bahasa jermannya"
"Kalo lo better kemana?"
Ziel berpikir sebentar sambil menghabiskan makanannya yang sudah sisa sedikit. Sementara di lain sisi, makanan Idan sudah tinggal beberapa suap.
Ziel mencoba fokus menjawab pertanyaan Idan dan menghabiskan makanan yang mereka nikmati. Tapi tangan yang lebih tua tidak bisa diam. Kadang mengusap dahinya kalau berkerat sedikit karena rasa pedas yang menjalar ke tubuhnya, kadang juga menyingkirkan poninya yanh jatuh ke mata agar makannya bisa nyaman, kadang juga Ziel merasakan rambutnya yang dekat telinga diselipkan oleh Idan lalu pipinya diusap lagi dengan lembut.
Lelaki ini... begitu manis dari ucapan dan tindakannya.
Ditengah ragunya sendiri, Idan masih bisa menyalurkan kasih sayang yang bisa membuat hati seorang Ziel bergemuruh.
Sesederhana makan tapi semua usapan, perhatian, dan kepedulian masih bisa dirasakan dengan nyata.
Idan juga penuh luka, keyakinannya belum sepenuhnya terjalin.
Tapi Ziel sadar satu hal.
Disayang oleh seorang Idan ternyata begitu membuatnya penuh.
Perasaannya yang terbelenggu sedikit demi sedikit terlepas, meskipun masih ada banyak ketakutan dalam dirinya.
Kasih sayang yang diberikan Idan bukan omong kosong belaka ketika dia berkata ingin belajar.
Kasih sayang yang dicurahkan Idan bukan cuma bentuk tanggung jawab pada bicaranya, tapi juga sebagai bentuk kejelasan pada tiap tindakannya.
Kasih sayang yang diberikan Zaidan pada Ziel adalah wujud dari dirinya yang sudah menyerah pada takdir.
Takdir yang membawanya pada seorang Ziel, lelaki cantik dan manis yang sekarang ada disampingnya.
Lalu, bagaimana Ziel tidak merasa ketakutannya direngkuh habis-habisan ketika Zaidan sendiri juga berjuang untuk melawan rasa ragunya?
Bagaimana bisa Ziel begitu jahat kalau tidak bisa melihat kesungguhan dalam sorot mata yang lebih tua ketika Zaidan saja dengan baik hatinya mau membuka diri meskipun pasti rasanya begitu berat di tiap langkahnya?
Bagaimana Ziel menolak membersamai lelaki yang manis mulut dan perlakuannya ketika dirinya disayang sebegininya?
Nafas Ziel tercekat, air matanya hampir luruh memikirkan semua pernyataan yang bersarang di kepalanya.
Usapan hangat itu datang lagi, kini disertai gumaman halus karena yang lebih muda justru melamun, bukan menjawab pertanyaannya.
Bukannya langsung menjawab, tapi Ziel menyingkirkan box yang sudah habis makanannya. Minum beberapa tenggak air putih untuk membasahi tenggorokannya sendiri, melirik sebentar pada Idan yang juga melihatnya lekat. Makanan yang lebih tua juga sudah habis. Ziel sudah selesai dengan acara minumnya, tapi tangannya yang hendak meraih mangga didepannya terhenti ketika Idan menahannya.
"Ziel?"
"Kenapa?"
"Ziel kenapa nangis, sayang?"
OH!
Ternyata pikirannya yang hampir menangis tadi sudah ditunjukkan tanpa sadar.
Tangannya terlepas dari sendok yang dia pegang beralih mengusap buru-buru pipinya yang sedikit lembab.
"Nggak sadar, kepedesan kali"
"Ziel"
"Iya kepedesan"
Idan mengangguk, mencoba paham atas jawaban yang lebih muda.
Ziel melanjutkan acara makan mango sticky rice sekarang. Otaknya masih memproses jawaban yang sekiranya bisa diterima oleh Idan.
"Gue lebih seneng kalo magangnya di kantor"
"Hmm?"
"Iyaa, Mas Idan kan tadi tanya gue. Gue lebih nyaman kalo di kantor, tapi belum tau mau dimana soalnya kita nanti ngajuin berkas dulu kan buat apply biar bisa keterima"
"Oh, bukan ditentuin dari kampusnya?"
"BUKAN! Kalo gitu gue gausah bingung dong"
Jawabnya sambil mengunyah mangga manis berpadu dengan santan yang membuat lumer di lidahnya.
"Mau di kantor gue?"
"Gamau, ordal"
"Ngejek terus ya lo"
"Lagian tiba-tiba, orang mau usaha dulu. Jangan langsung dikasih enak nanti gue ketagihan"
"Ya gapapa kalo ketagihan, kan sama gue ini nagihnya"
"JOROK BANGET, OM!" frustasi sekali sepertinya, tapi berhasil membuat Idan tersenyum.
Idan tau kalau alasan luruhan air mata tadi bukan karena merasa pedas akan makanan yang Ziel makan. Sesederhana anak itu tidak pernah merasa demikian ketika memasak sendiri, apalagi dengan makanan yang dia beli, tidak masuk akal. Pedasnya masih jauh dibawah masakan Ziel tiap harinya kalau di apart.
Idan tidak mau bertanya banyak, mungkin ada pikiran lain dalam otak si cantik didepannya.
"Lo anak keberapa, Ziel?"
"Tunggal"
"Terus kalo bunda lo keluar negeri, kalo ada apa-apa lo minta tolong ke siapa?"
"Fathan, atau kalo nggak bisa ya sendiri"
"Mandiri amat, Ziel"
Ziel memakan mangganya lagi, sesekali dia suapkan pada yang lebih tua. Tapi tetap, yang lebih makan banyak dirinya.
"Sekarang lo udah gausah apa-apa sendiri lagi, kan ada gue"
"Terus kalo ada lo kenapa?"
"Lakuin semuanya bareng gue, biar bebannya nggak terlalu berat. Emang gamau bergantung sama orang lain sesekali?"
"Mau... tapi susah"
"Kenapa harus susah kalo sekarang yang lo ajak ngobrol itu gue, bukan orang lain? Minta apa aja sama gue kalo lo lagi mau apapun. Gue usahain, Ziel"
Ziel mendengus pelan, sudah melepaskan sendoknya lagi. Tidak ingin makan lagi karena perutnya sudah penuh dan juga dirinya beralih menoleh kepada yang lebih tua.
Idan bisa melihat mata yang lebih muda berkaca-kaca.
"Lah kok mau nangis lagi?"
"Ternyata enak"
"Apanya yang enak, Ziel?"
"Ternyata enak disayang-sayang sama Mas Idan"
ASTAGA!
Jadi ini alasan anak itu menangis tanpa sadar?
Karena terlalu senang akibat merasa disayang?
Idan berhasil membuat Ziel merasa disayang sebegitunya?
"Seneng?"
"Ziel seneng disayang-sayang sama Mas Idan"
"Seneng banget?"
"Seneng banget... Ziel cuma mau sama Mas Idan"
FUCK!
Sekarang Zaidan yang ingin menangis.
"Ziel... Ziel... jangan kayak gitu, lo kenapa jadi gemesin gini? Pake manggil nama buat diri sendiri, Ziel? GUE PUSING!" Idan sampai berteriak karena terlalu gemas dengan tingkah yang lebih muda.
Tau Ziel sedang apa?
Tersenyum ringan sambil tubuhnya berdiri.
"Mau sikat gigi dulu, Mas Idan mau ikut?"
"NGGAK!"
"KOK ENGGAK?"
"GUE TAKUT MAKAN LO BENERAN, ANJING!" Idan sampai mengumpat sementara Ziel mendengus sebal.
"Yaudah buang box makanannya, piringnya balikin ke tempatnya"
"Kalo udah selesai bilang, gantian"
"Gamau, orang diajak bareng malah nolak. Teeus merintah-merintah gitu maunya apa?"
"BANYAK OMONG, GUE KOKOP JUGA LO!"
"Marah-marah kayak nggak dikasih jatah"
"Ziel..."
"Iyaa maaf, Om" tangannya menepuk pundak Idan dengan pelan lalu berjalan menuju kamar mandi.
Kegiatan keduanya bergantian, setelah agenda sikat gigi dan membersihkan sisa makanan, mereka masih duduk di atas kasur.
Ziel sibuk membalas pesan dosennya lagi sementara Idan yang sebenarnya tidak melakukan apapun, memilih langsung berbaring saja. Dia berbaring membelakangi Ziel, benar-benar ingin tidur, tidak ada maksud lain.
Ziel yang merasa punggung kokoh itu membelakanginya hanya tersenyum kecil. Ponselmya sudah diletakkan disamping bantalnya. Dirinya ikut berbaring menghadap punggung yang hanya dilapisi kaos dalaman warna hitam juga seperti dirinya.
"Besok keluar jalan-jalan mau?"
"Hmm..." hanya gumaman tidak jelas yang diberikan Idan. Matanya sudah berat.
Ziel yang mendengar itu tersenyum kecil, tangan kirinya berusaha masuk untuk memeluk badan Idan dari belakang. Kepalanya diusak di tengkuk Idan, beberapa kali mengecupnya disana dengan pelan. Idan yang kesadarannya belum sepenuhnya lenyap jadi ikut tersenyum. Tangan yang memeluknya dibawa ke bibir untuk dikecupi punggungnya. Pelukan Ziel juga bisa dia rasakan semakin erat.
"Mau kemana besok?"
"Gatau sih, muter-muter aja. Kita belum jalan berdua, Mas Idan"
"Oh jadi ceritanya ngedate?"
"Nggak pacaran kok ngedate"
"Nggak pacaran kok ciuman juga, Ziel"
"RESE ANJING!"
Ziel mendengus tapi pelukannya makin erat.
"Iyaa besok jalan-jalan ya, sayang"
"Iyaa, Mas Idan"
Hening sebentar, Idan sudah hampir masuk ke lelapnya.
"Mas idan anak keberapa?"
"Gue kira udah selesai ngobrolnya"
"Goodnight kissnya juga belom, kok udah mau tidur aja"
"Oalah lo ngarep dicium juga ternyata?"
"LO ANAK KEBERAPA, MAS IDAN?!!"
Idan hampir menyemburkan tawanya tapi dia beralih mengecupi punggung tangan yang lebih muda, lagi.
"Terakhir. Gue bungsu, punya kakak satu"
"Dia dimana?"
"Di Belanda, kuliah disana. Sama sesekali cek perusahaan juga, papah ada kantor di Amsterdam"
"Okey..."
"Dia nurut banget sama mamah, kuliahnya juga diatur sama mamah. Nggak boleh gini, nggak boleh gitu. Jadi ya kita nggak akrab-akrab banget"
"Tapi masih sering chattan kan?"
"Jarang, Ziel. Kalo nggak ada perlu ya enggak"
Ziel semakin merengkuh badan besar didepannya.
"Kok lo bisa ngasih kasih sayang ke gue padahal yang lo dapetin juga nggak sepenuh itu?"
"Bisa aja, soalnya gue mau. Gue mau ngasih itu ke lo, kerasa nggak?"
"Sayangnya kan?"
"Perjuangan gue buat ngasih kasih sayang ke lo, kerasa nggak?"
"Kerasa, Ziel ngerasain kok"
Idan harus membiasakan diri sepertinya karena Ziel sudah memanggil dirinya sendiri seperti itu dalam hitungan "sering".
"Hubungan gue sama papah tuh baik, Ziel. Kalo sama mamah ya gitu, gue gatau nyebutnya apa. She's too forcing me a lot. Makanya dirumah juga papah malah sering ribut sama mamah. Nah, kalo rumah aja gabisa ngasih nyaman terus gunanya gue apa dong disana?"
"Tapi emang gabisa dipaksa. Perangai orang juga beda-beda, termasuk mamah. Lo tau, papah berkali-kali minta maaf ke gue karena udah bikin gue gabisa hidup dalam belenggu rumah tangganya."
"Jadi, gue disini sama lo. Dipeluk sama lo. Rasanya juga nyaman. Gue juga seneng kok, Ziel"
"Ternyata rumah yang gue butuhin cuma yang begini. Bukan yang banyak mau ataupun yang bikin gue ngerasa nggak punya kuasa atas diri gue sendiri. Tapi gue nggak bohong juga kalo masih banyak takutnya"
"Ziel... hidup emang banyak jalannya. Tapi dengan gue milih jalan ini, gue cuma berharap kalo gue bisa nemuin hal yang nggak bisa gue temuin di rumah. Sama lo, semoga lo juga mau pelan-pelan jalan sama gue"
Ziel mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak tau harus menjawab apa karena dirinya juga merasa semua perkataan Idan sudah jelas.
Begitu jelas sampai kecupannya datang lagi, kini menyambangi telinga yang lebih tua. Hanya sapuan halus yang membuat Idan teesenyum kecil.
"Beneran mau dicium ya?"
"Mas Idan mau cium Ziel?"
"Tapi kalo gue cium, bakal lebih dari kemarin. Lo gemesin banget soalnya"
"Boleh, Ziel mau dicium. Ziel mau disayang-sayang soalnya Ziel juga sayang sama Mas Idan. Mau sayang-sayang Ziel terus, kan?"
Idan langsung berbalik dengan cepat, menatap mata yang juga melihatnya.
"Jangan nangis nanti"
Ucapan Idan hanya diangguki.
Sepertinya Idan juga tidak mau menunggu lebih lama karena bibir manis dan merekah itu langsung diraup tanpa jeda. Ziel bisa merasakan kepalanya ditahan agak kecapan yang lebih tua semakin terasa. Bibir atas dan bawahnya dikulum
habis-habisan sampai membuat Ziel mendongak karena wajah Idan yang berada diatasnya.
Pipinya diusap dengan lembut sambil rambutnya diremas oleh tangan besar Zaidan. Cumbuan mereka memang lebih dalam daripada kemarin, bahkan Idan sudah berhasil mengetuk bibir mungil didepannya untuk terbuka meskipun lidahnya belum melesak menggauli lidah lain yang lembut didepan sana.
Idan sampai memberantakan rambut Ziel lebih keras, yang lebih muda pasrah ketika bibirnya disesap lebih dalam, dijilati lebih liar, dicumbu lebih nikmat daripada sebelumnya.
Ziel juga bisa merasakan kaos yang digunakan Idan sedikit tersingkap membuatnya secara tidak sadar mengeluskan tangannya dibalik kaos itu. Tubuh atletis yang lebih tua bisa diraba, perut rata dengan hiasan otot juga bisa dirasakan oleh tanganny. Ziel sampai menggeleng dalam ciumannya karena merasa semua sudah diluar kendali nafsunya.
Ini terlalu memabukkan.
Bibir manis dan tebal milik Zaidan menyandera sisi warasnya sekali lagi.
Lumatannya makin terasa ketika Idan menyesap panjang bibir bawah Ziel sampai empunya melenguh kesetanan.
"Mau buka mulutnya, Ziel?" ucapannya setelah melepas bibir Ziel, nafas Idan juga terengah namun sebisa mungkin dikontrol karena pemuda didepannya jauh lebih berantakan.
Ziel tidak menjawab, hanya membuka mulutnya sebagai tanda bahwa Zaidan boleh mengacak-acai dalamnya.
Idan tidak membuang waktu, lidahnya dilesakkan langsung sampai membuat Ziel terjengat. Pelukannya makin erat, lidah didalam sana melilit lidahnya dengan brutal. Gerakannya menyapu semua sisi lembut lidah yang lebih muda.
Disesap, dicumbu, ditarik keluar agar bisa bersenggama di luar bibir.
Bibirnya menganga menerima rangsangan Idan yang begitu hebatnya. Dada Ziel hampir meledak ketika lidah yang lebih tua menyesap berkali-kali, seperti lidah yang lebih muda sudah menjadi candunya.
Bukan hanya Ziel yang gila, tapi Idan tidak kalah mabuk kepayang. Tangannya sudah bergerilya kemana-mana sambil bibirnya tidak henti memborbardir Ziel dengan ciuman, lilitan lidah, suara kecipak basah yang mengiringi kegiatan kotor mereka. Tangan yang lebih tua masuk lagi kedalam kaosnya yang dipakai Ziel.
Kalau Idan hilang kewarasan, Ziel sudah habis sekarang.
Punggung yang lebih muda diusap dengan terburu, selaras dengan gerakan bibirnya yang mencumbu tiada henti. Ziel bahkan sudah melenguh berkali-kali karena liurnya sudah menetes disela-sela bibirnya.
Bibrinya masih terbuka lebar membiarkan Zaidan menikmati rasa manis dan menggairahkan yang hadir didalamnya.
"Eughh.... Mas...." gagal ucapannya karena lidahnya ditarik lagi, dililit lagi, dicumbu lagi sampai Ziel tidak tau seberapa banyak air liur yang tercampur akibat hebatnya cumbuan mereka.
Ziel juga berusaha membelit lidah Idan tapi tetap kalah. Zaidan terlalu dominan, membuat Ziel kalang kabut karena tubuhnya makin panas akibat gejolak nafsu yang semakin membesar. Tubuhnya semakin ditarik dengan kepalanya ditahan oleh tangan satunya milik Idan.
"Ahh.... Mas...." lidahnya digigit-gigit oleh Idan dengan gemas, membuat Ziel semakin melebarkan mulutnya.
Zaidan rasanya bisa mencumbu bibir manis dan candu ini semalaman.
Kecupan keras muncul ketika Zidan mengecupi berkali-kali bibir yang sudah sangat bengkak didapannya.
"Mas...." gagal lagi, karena bibirnya yang terbuka menjadi akses Idan untuk melesakkan lidahnya makin liar. Lebih liar daripada sebelumnya karena badan Ziel sampai membusung, menempel pada tubuh Idan tanpa jarak.
Tanpa sisa, sudah habis kewarasannya.
Ziel akhirnya ikut memutarkan lidahnya menggauli lidah Idan. Empunya sampai membuka matanya melihat Ziel yang dengan nafsunya membalas cumbuannya.
Zielnya cantik.
Zielnya begitu manis.
Zielnya sudah bisa membalas lilitan lidahnya dengan sama liarnya.
Idan tersenyum sedikit sebelum kembali mencumbu dengan dalam. Geraman dan lenguhan bersahutan sampai bibir yang lebih tua melepas cumbuannya. Beralih mengecup pipi, hidung, bibir lagi membuat Ziel terbuai. Kecupannya turun lagi menuju leher seperti kemarin, tapi sekarang Ziel bisa merasakan sesapan ringan yang membuat tubuhnya bergerak gelisah.
"Mas Idan...."
Sesapan yang membuat tanda hak milik Idan pada sisi tubuhnya.
Leher Ziel sudah tertanda cantik dengan cap kemerahan atas kelakuan bejat bibir yang lebih tua. Bibirnya keatas lagi menuju bibir Ziel untuk memberikan kecupan lama, dalam, dan penuh sayang.
"Mas... beneran nandain leher aku?"
Idan sampai menghentikan pergerakannya karena lagi-lagi Ziel menggunakan kata ganti lain.
"Aku" katanya.
Idan menetralkan nafasnya yang juga memburu, mendekap tubuh mungil yang sudah menjadi sayangnya.
"Iyaa, sedikit"
"Besok kita mau keluar, Mas Idan"
"Nggak kelihatan, Ziel. Nggak keras nyesapnya tadi"
"Tetep aja, kalo kelihatan juga aku yang malu"
Idan mendekap lebih erat lagi.
Dia baru tau kalau sisi ambis yang lebih muda akan hilang ketika sedang dimanjakan.
"Udah gapapa, tidur. Biar besok bisa puas kelilingngnya"
"Mas Idan..."
"Nanti pas di apart sering-sering pake baju aku lagi"
Idan hanya mengikuti dan Ziel tidak protes.
Sudah lelah sekali berdebat, Ziel memilih mendekatkan kepalanya untuk tepat berada didepan Idan.
"Awas aja sampe kelihatan sama orang"
"Nggak, sayang"
"Yaudah, bobok" ucapnya sambil mengecup singkat bibir Idan, membuat empunya membalas dengan lembut.
Selimutnya ditarik oleh Idan agar sampai di batas bahu yang lebih muda. Tubuh mungil itu didekap hangat dalam tidurnya.
Zaidan tau jalan mereka masih panjang, mungkin juga terlalu banyak sandungannya.
Ziel juga paham kalau mereka masih dalam tahap memulai diatas ragunya sendiri.
Karena bahagia, tidak bisa diraih secara cuma-cuma kan?
•jetaimemoii